Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mantra Hijau

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marco Kusumawijaya

  • Arsitek perkotaan, Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta

    Sudah Oktober belum juga hujan. Ini tanda kita mesti waspada bahwa pada Januari atau Februari, kita akan kebanjiran lagi. Lalu kekurangan ruang terbuka hijau (RTH) kembali jadi tumpahan kekesalan.

    RTH memang simbol berbagai masalah Jakarta. Masyarakat merasa emosional dan melihatnya sebagai wujud tergerusnya kuasa mereka atas kotanya sendiri. Sudah sejak merdeka diketahui banyak RTH di seluruh kota berubah fungsi, dan itu dilegalkan dengan revisi rencana tata ruang. Target luasan RTH dalam tata ruang Jakarta terus dikurangi sebagai bagian dari legalisasi perubahan-perubahan itu, dari 37,2 persen dalam Rencana Induk 1965-1985 hingga 13,94 persen dalam RTRW 2000-2010. Sedangkan tambahan pasokan ruang komersial begitu hebatnya—3.046.000 meter persegi pada 2000-2006, sedangkan pada 1960-1999 hanya 1.454.000 meter persegi— hingga beberapa pusat belanja pun tutup.

    Tidak ada pembakuan yang memuaskan tentang luas RTH. WHO menganjurkan 12,5 meter persegi per kapita. Chicago, menurut kepala dinas pertamanannya kepada saya pada 2001, menargetkan 50 meter persegi per kapita. Daya serap air tiap lahan berbeda: 1 meter persegi di Bantul lain dengan 1 meter persegi di Tanjung Priok. RTH bertutupan hutan menyerap hingga 95 persen air hujan ke tanah. RTH bertutupan rumput hanya menyerap 70 persen air, dan sedikit sekali CO2.

    Luas RTH yang diperlukan di Jakarta harus dihitung berdasarkan dua fungsi ekologis itu: menyerap air dan CO2. Ini hanya mungkin kalau tiap meter persegi RTH itu disertai spesifikasi: apa tutupannya dan bagaimana sifat tanahnya. Tanpa rumusan kebutuhan yang rasional, pelanggaran akan mudah dibenar-benarkan.

    RTH harus direncanakan secara spesifik dan terukur. Selain itu, penataannya juga harus terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang memerlukan penataan kota yang mengintegrasikan tata guna lahan dengan sistem angkutan umum, pengelolaan sampah, pengembangan pertanian kota (urban agriculture), dan lain-lain. RTH harus mengurangi banjir, emisi gas rumah kaca yang berkaitan dengan sistem angkutan, penyediaan ruang sosial, serta harmonis dengan perencanaan pembangunan ekonomi.

    Modalitas produksi RTH harus menyemai keragaman, rasa memiliki oleh masyarakat, dan memberdayakan masyarakat berpartisipasi aktif. Cara mencapai ini adalah dengan kerja bersama kreatif (creative collaboration) antara pemerintah dan masyarakat. Kerja bersama kreatif membagi peran dan beban; membangun rasa memiliki terhadap situs tertentu; memajukan demokratisasi dalam penciptaan nilai, makna, hubungan; melindungi aset masa depan, membentuk modal sosial, memberagamkan, serta menyesuaikan RTH makin mengena kepada kebutuhan masyarakat. Pada zaman demokratisasi informasi, kerja bersama kreatif menjadi keharusan. Kini semua orang relatif sama pintar. Tidak seorang pun dari kita yang lebih pintar dari kita (none of us is smarter than us).

    Riset Institute for ECOSOC Rights di Jakarta dan Bangkok baru-baru ini menyimpulkan satu faktor pembeda di kedua kota itu, ialah terlembaganya kerja bersama antara komunitas kota, akademisi, pemerintah, dan aktivis lainnya. Di Bangkok, kerja bersama memecahkan prasangka, menembus tembok koordinasi horizontal antarsektor dan dialog vertikal antara warga, pemerintah lokal, dan pusat. Tidak ada solusi tunggal dan mati yang dipaksakan. Setiap konteks memerlukan prakarsa komunitas.

    Syaratnya, komitmen jangka panjang, pengakuan keragaman perspektif sebagai pijakan mengatasi perbedaan, pengembangan visi bersama. Perlu juga dikembangkan kesudian berbagi gagasan, informasi dan pengetahuan, sehingga semua memiliki dasar pengetahuan sama, dan saling percaya, serta kebersamaan dalam mengambil risiko. Ini semua dibangun dengan keterlibatan dan interaksi intensif yang panjang.

    Kerja bersama kreatif menekankan makna kreatif sebagai lawan dari ”destruktif”. Kerja bersama itu hendaknya berdaya kembang berkelanjutan, bukan ”sekali berarti sudah itu mati.” Kerja bersama kreatif terus-menerus menghasilkan kembali makna dan pemaknaan, nilai dan penilaian. Ini untuk menghindari monopoli penciptaan makna oleh pihak tertentu, yang hanya menciptakan keseragaman mematikan (lawan dari kreativitas). Prinsipnya, setiap tambahan RTH harus meningkatkan kemampuan Jakarta mengatasi dampak pembangunan secara terukur dan setiap peningkatan pembangunan harus disertai dengan peningkatan kemampuan ekologis.

    Minimal yang harus dilakukan adalah mengefektifkan RTH yang ada, termasuk median jalan. Jangan kurangi median jalan, apa pun alasannya. Tingkatkan daya guna lingkungannya: ubah tanah jadi lebih menyerap, tanam pohon besar. Tingkatkan daya guna sosialnya: perbaiki desain, akses, dan rasa kepemilikan melalui creative collaboration. Lindungi RTH yang ada dengan peraturan daerah tata ruang, serta pengawasan bersama oleh birokrasi dan masyarakat. Tegaskan lebih terperinci RTH di dalam tata ruang pada semua tingkat.

    RTH harus terdistribusi baik di seluruh wilayah Jakarta, dengan hierarki yang sesuai. RTH di lingkungan perumahan dikembangkan menjadi ”taman masyarakat”. RTH dikelola komunitas, dan dijadikan sarana pembelajaran ekologi dan pemupukan modal sosial. Padanya diterapkan keanekaragaman hayati, daur ulang sampah dan limbah lain, serta energi terbarukan.

    Pada skala makro diperlukan kerja sama tata guna lahan seluruh wilayah tangkapan air yang mencakup Jakarta dan sebagian Jawa Barat serta Banten. Kerja sama ini harus mencakup upaya mengurangi commuters dan mengembangkan pelayanan angkutan umum, air minum, dan pengelolaan sampah terpadu. Jakarta perlu menerapkan intensifikasi penggunaan lahan pada yang diperuntukkan bagi pembangunan, sambil pada saat yang sama mengurangi intensitas di daerah yang diperuntukkan sebagai kawasan hijau. Efisiensi penggunaan lahan memerlukan pola mixed/multiple use, terutama dengan menyertakan hunian sebagai ”guna-lahan tetap” di sebanyak mungkin lahan.

    Pertanian perkotaan juga menguntungkan. Pada 1997 pertanian kota di Jakarta memberikan pekerjaan kepada sekitar 100 ribu orang. Hong Kong dan Singapura memiliki kebijakan pertanian kota. Sekitar 80 persen sayur dan 25 persen daging unggas kebutuhan Singapura dipasok pertanian kota.

    Ruang-ruang terbuka harus dibuat menyambung, sehingga orang nyaman berjalan kaki. Di antara ruang terbuka yang ada dapat ditambahkan sambungan-sambungan ruang hijau. Ini akan memudahkan orang lebih banyak berjalan kaki dan bersepeda. Di banyak kawasan di Jakarta hal ini masih dimungkinkan dengan perencanaan yang teliti.

    Menurut Loren Demerath (The social Qualities of Being on Foot: A Theoretical Analysis of Pedestrian Activity, Community, and Culture, dalam City and Community 2:3 September 2003), ada empat sifat pejalan kaki yang mempermudah penciptaan makna lebih baik daripada moda angkutan lain. Mereka adalah keragaman pengalaman, kemudahan berhenti untuk berinteraksi dengan lingkungan, kreativitas bersama, dan ekspresi identitas.

    Pejalan kaki adalah ahli kota sejati, pusat perjuangan memperbaiki segala hal pada kota. Sebab pada irama lamban, ia temukan momen-momen kritik semua masalah kota. Ia rasakan lebih nyata semua polusi, bau sampah, gelombang dan debu jalan serta ketidakadilan. Ia alami impitan, penyingkiran, reduksi, dan represi oleh rencana-rencana. Ia alami ruang dan waktu, jalan dan malam, mereka, serta diri-aku secara otentik. ”Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula,” tulis Chairil Anwar.

    Ah, ingat juga. Pantai! Pemerintah dengan segala upayanya harus membuka kembali akses ke pantai. Dari 30 kilometer panjang pantai Jakarta, hampir tak sejengkal pun yang terbuka bebas, gratis, mudah dan indah bagi khalayak. Pantai mengingatkan cikal bakal kota dan membentangkan horizon, yang adalah simbol kosmos dan hubungan dengan dunia lain.

    Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta sedang direvisi. Hal-hal di atas seharusnya dapat diakomodasi konkret sehingga tak berhenti sebagai mantra. Semoga kesempatan besar ini tak terlewatkan oleh pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus