Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebebasan Pers, Lalu Apa?

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis

  • Ketua Dewan Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)

    Metta Dharmasaputra tiba-tiba menjadi sebuah nama yang banyak dibicarakan beberapa bulan terakhir ini. Penyebabnya: ketika melakukan investigative repor ting dalam kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri, anak perusahaan Raja Garuda Mas Group, pembicaraan telepon wartawan Tempo itu dengan mantan karyawan PT Asian Agri, Vincentius Amin Sutanto, yang bernyanyi tentang dugaan penggelapan pajak, konon, disadap atau ter sadap oleh kepolisian.

    Rekaman pesan pendek atau SMS antara Metta dan Vincentius berada di tangan kepolisian dan sekaligus beredar di tangan sejumlah kuli tinta. Karuan saja Metta protes, lantas banyak wartawan ikut marah. Penyadapan tersebut sudah dibantah oleh pihak kepolisian karena itu dianggap bukan penyadapan. Persisnya yang dilakukan kepolisian adalah meminta print out SMS untuk kepentingan penyidikan le bih jauh atas kasus pidana yang menimpa Vincentius yang dituduh menggelapkan uang PT Asian Agri.

    Walaupun yang dilakukan oleh pihak kepolisian itu meminta print out pembicaraan SMS antara Metta dan Vincentius, saya kira ini hanya dalih untuk menghindar dari tuduh an telah terjadi penyadapan. Percakapan melalui SMS termasuk percakapan yang by law dilindungi oleh prinsip-prinsip kerahasiaan pembicaraan pribadi atau privacy yang tak boleh dicampuri oleh Negara. UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 52/2000 secara tegas melindungi pembicaraan telepon termasuk SMS sebagai bagian dari privacy yang secara universal diakui dan dijamin kecuali untuk kepentingan penyidikan beberapa jenis tindak pidana tertentu seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Kasus yang disidik oleh pihak kepolisian kali ini tak ada ka itannya dengan korupsi, narkotika, dan terorisme.

    Mengapa hal ini terjadi?

    Heboh penyadapan ini mengingatkan kita akan banyak kasus penyadapan yang terjadi di negeri ini, sehingga tidak salah jika banyak orang yang beranggapan bahwa pembicaraan telepon mereka termasuk dalam operasi penyadapan pihak aparat. Para politisi dan aktivis sering merasa waswas karena tak lagi bebas bicara di telepon. Negeri dengan kebebasan pers yang dipuji di seantero dunia ini ternyata tengah dihadapkan kepada operasi intelijen yang akan menggoyahkan sendi-sendi kebebasan pers.

    Para wartawan bisa jadi lebih risau karena korespondensi e-mail mereka bisa jadi masuk daftar sasaran penyadapan. Tidak mengherankan jika ketakutan akan penyadapan ini kelak akan menumbuhkan semangat self-censorship yang merugikan pembaca. Kalau wartawan tak lagi merasa aman karena takut disadap, mereka pasti tak akan bisa secara cepat mengejar sumber berita yang kebanyakan sulit ditemui. Wawancara face to face memang ideal, tetapi di zaman sekarang ini kecepatan menuntut wartawan memanfaatkan teknologi secara optimal. Internet, telepon, dan SMS adalah medium paling murah, sederhana, dan cepat. Nadi pemberitaan tampaknya mulai disumbat, dan ini akan sangat merugikan rakyat yang by law juga berhak mendapatkan berita yang akurat, tajam, cerdas, dan berwawasan.

    Yang juga bakal merasa terancam adalah para narasumber yang khawatir tentang kerahasiaan pembicaraan telepon atau SMS yang dikirimkan. Narasumber akhirnya akan bicara hal-hal yang aman, tak berani bicara hal-hal yang sensitif karena takut terkena masalah. Kalau seorang narasumber yang menjadi whistle blower kasus korupsi menyebutkan sejumlah nama pejabat, bisa-bisa sang narasumber malah terkena tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah. Ia yang semula berniat membongkar kejahatan malah mungkin dilaporkan ke kepolisian dan digugat secara perdata di pengadilan. Sang narasumber tentunya akan pelit atau takut bicara. Siapa yang mau berurusan dengan kepolisian atau kejaksaan? Apalagi, sudah banyak kisah pahit tentang orang yang berurusan dengan aparat hukum dan bercerita ke mana-mana bahwa mereka menjadi semacam ATM bagi aparat. Sudah kerap kita dengar sindiran tajam: orang yang melapor kehilangan kambing malah akhirnya ”babak belur” dan membuatnya seperti kehilangan kerbau.

    Apa artinya semua ini?

    Untuk gerakan pemberantasan korupsi, kisah penyadapan ini sebuah lampu merah karena secara diametral bertentang an dengan semangat mengikis habis penyelewengan uang negara yang diperjuangkan selama ini. Para whistle blower yang seharusnya dilindungi pastilah akan mundur dan kehilangan semangat. Mereka pasti tak akan mau menjadi pahlawan pemberantasan korupsi kalau buntutnya harus terseret-seret ke cengkeraman polisi atau jaksa. Dalam kasus narkotika dan terorisme hal yang sama juga akan terjadi. Kehendak pemerintah untuk membongkar sindikat narkotika dan terorisme hampir pasti akan kandas, sia-sia. Jadi, betapa seriusnya dampak dari adanya penyadapan ini. Mungkin dampaknya tak pernah terbayangkan. Ini lantaran semangat penyidik yang menggelora atau karena perintah atasan? Atau ada tekanan dari pihak-pihak tertentu yang ikut bermain?

    Tetapi yang paling penting di sini adalah melemahnya sendi-sendi kebebasan pers yang baru kita nikmati setelah jatuhnya Soeharto. UU Pers Nomor 40/1999 yang menjamin kebebasan pers menjadi tak berdaya di hadapan kegarangan penyidikan. Persatuan wartawan tampaknya tak juga solid karena merasa kebebasan pers masih mereka nikmati.

    Kasus Metta memang hanya satu kasus dan tak bisa dijadikan dasar untuk mencemaskan kebebasan pers. Saya tentu tak ingin membantah pernyataan itu karena memang sebagian besar pers kita masih menikmati kebebasan pers, tetapi pada sisi lain kita wajar merasa cemas. Kalau sekarang penyadapan ini terjadi pada Metta, besok bisa terjadi pada wartawan lain. Ini hanya soal waktu. Kalau kita abai dan meremehkan bahaya penyadapan di masa depan, saya khawatir kita akan menyesal kelak. Tentu saya tak berharap masa silam yang gelap akan terulang lagi. Tak ada salahnya mawas diri, sedia payung sebelum hujan.

    UU Pers Nomor 40/1999 memang jauh dari sempurna. Kita perlu UU Pers yang lebih komprehensif dan berpihak kepada kebebasan pers sehingga tak akan terjadi lagi kriminalisasi pers. Walau demikian, UU Pers Nomor 40/1999 yang kita miliki sekarang ini setidaknya menjamin fungsi pers yang bebas, tanpa bredel dan sensor. Fungsi pers yang paling penting adalah menjalankan kritik sosial, dan dalam konteks inilah pemberitaan tentang korupsi dan pelanggaran hak asasi menjadi tugas mulia pers. Sayang, pers sekarang sudah mulai gentar karena ancaman kriminalisasi pers dan gugatan pencemaran nama baik serta perbuatan melawan hukum (tort). Kalau kita berharap pers melakukan investigative reporting, maka bersiaplah untuk membaca investigative reporting yang tidak tuntas, tidak kritis, dan tidak cerdas. Era pers jinak bisa lahir kembali: pers hanya menulis berita yang aman.

    Kita memang tak boleh pesimis karena gelombang demo krasi global masih sangat kuat dan Indonesia ada di dalamnya. Dan sesungguhnya kebebasan pers bukanlah eksklusif milik Barat, karena memang tak ada Barat, Timur, Utara, atau Selatan dalam hal ini. Kebebasan pers yang berinduk pada kebebasan menyatakan pendapat (freedom of speech) adalah sesuatu yang niscaya. Kebebasan menyatakan pendapat bukan semata-mata untuk menyebarkan berita bagus, tetapi juga berita yang buruk. Berita bagus dan buruk sama pen tingnya dan harus dilindungi dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi. Saya teringat pada ucapan Soli Sorabjee, mantan Jaksa Agung India, ”…there should not only be freedom of speech but freedom after speech.” Artinya, kebebasan pers itu penting, tetapi yang tak kalah penting adalah apa yang terjadi setelah kebebasan pers. Jangan ada intimidasi, teror, pe nangkapan, atau kriminalisasi pers.

    Kasus Metta harus kita lihat secara jernih dan proporsi onal. Terlepas dari kontroversi bahwa Metta berada dalam pertarungan antara dua konglomerasi ekonomi, kebebasan Metta untuk melakukan investigative reporting harus dilindungi. Berita bahwa seorang konglomerat memberi bantuan kepada Vincentius melalui Metta dengan alasan kemanusiaan tentu tak elok dan bisa jadi dilatari niatan menghantam lawan bisnisnya. Sangat disayangkan kalau pers disalahgunakan oleh pemilik modal. Tetapi itu tak bisa jadi alasan untuk mencede rai kebebasan pers. Investigative reporting yang dilakukan oleh Metta harus dilindungi, kemarin, hari ini, dan besok. Inilah fungsi kepentingan umum yang mesti dijunjung tinggi.

    Pers memang harus hati-hati dan arif, jangan rela dibeli. Di sinilah kebebasan pers menjadi berharga. Karenanya, tak ada ruang untuk kompromi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus