Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tingginya jumlah korban dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung setahun ini menunjukkan pemerintah tidak memiliki niat baik dalam menegakkan demokrasi di Indonesia. Cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat untuk membungkam hak kebebasan berpendapat semakin menyeret kita ke masa suram Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 78 kasus yang menodai hak berpendapat di Tanah Air sepanjang Januari-Oktober tahun ini. Dari kasus-kasus itu, jumlah korban kekerasan mencapai 6.128 demonstran. Sebanyak 51 orang kehilangan nyawa, 44 di antaranya bahkan tak jelas alasan kematiannya. Ini adalah jumlah korban tertinggi, setidaknya dalam satu dekade terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ada dua aksi besar yang paling mendapat sorotan selama periode itu. Pertama adalah aksi menolak rasisme di Papua pada Agustus lalu. Aksi kedua adalah unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di berbagai daerah yang mengusung tema #ReformasiDikorupsi pada akhir September lalu. Kedua aksi itu bernada mirip: mengungkapkan kekecewaan kepada pemerintah.
YLBHI menyebutkan polisi adalah pihak yang paling mendominasi pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat. Jumlahnya mencapai 67 pelanggaran. Pelakunya adalah personel dari tingkat sektor hingga polisi yang bertugas di Markas Besar Kepolisian RI. Ada enam pengunjuk rasa tewas ditembus peluru, diduga akibat ulah personel yang kebablasan. Memang, ada sejumlah polisi yang tengah diadili karena didakwa membawa senjata api saat mengawal demonstrasi itu. Namun, siapa pembunuh enam pengunjuk rasa tersebut, masih belum jelas hingga saat ini.
Pihak kedua yang paling banyak melanggar adalah para dosen di berbagai perguruan tinggi. Ada delapan laporan pelanggaran yang melibatkan mereka. Para dosen dilaporkan telah menghalang-halangi mahasiswanya berunjuk rasa dengan menggelar ujian persis pada hari pelaksanaan aksi. YLBHI menganggap perilaku dosen ini merupakan dampak dari anjuran Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kala itu, Mohammad Nasir, yang mengatakan akan memberikan sanksi kepada rektor yang tak mampu mencegah mahasiswanya berdemonstrasi.
Nasir tak bertindak sendiri. Presiden Joko Widodo harus ikut bertanggung jawab. Menteri mengancam rektor karena menerima perintah Presiden untuk meredam unjuk rasa mahasiswa. Kebijakan ini sama saja dengan merebut hak-hak masyarakat untuk berpendapat. Padahal hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden harus membuka mata bahwa kebebasan yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 hari-hari ini kontras dengan praktik di masyarakat. Pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat masih marak. Laporan yang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik masih menumpuk di kepolisian. Salah satu korban undang-undang ini adalah para aktivis yang getol bersuara kritis di media-media sosial.
Presiden Jokowi harus bergerak cepat memulihkan kepercayaan diri masyarakat agar tak ragu berpendapat. Kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Presiden harus memerintahkan polisi dan aparat keamanan untuk memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat yang menyampaikan aspirasinya di tempat-tempat umum.