Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tak setuju hukuman mati. Ketika umur saya belum lagi enam tahun, ayah saya dieksekusi pasukan pendudukan Belanda. Tiap kali tembakan diarahkan untuk mematikan seseorang, ada kerusakan sampingan yang terjadi. Keluarga kami tak menyesal ayah menemui akhir hidupnya secara demikian -- dia bukan penjahat -- tapi trauma diam-diam membekas. Meskipun berubah.
Kasus saya tidak istimewa. Beratus ribu, ya berjuta-juta, anak dan ibu Indonesia mengalaminya. Sejarah Indonesia dibangun dari jutaan tembakan dan kematian.
Ada 350 tahun perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Kompeni dan tentara kolonial. Kekerasan tak berhenti setelah 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan dinyatakan, dari Den Haag Hindia Belanda hendak direstorasi dengan kekuatan militer, dan perang gerilya yang melawan itu pun merebak di seluruh Indonesia. Pada 1949, perang itu reda. Tapi selama itu, dan setelah itu, ada kekerasan panjang di Jawa dan di Sulawesi Selatan:perang antara mereka yang mau menegakkan "Negara Islam" dan tentara Republik yang mempertahankan sebuah Indonesia yang bhineka. Sebelumnya, "pembrontakan komunis" di Madiun yang berdarah-darah. Ada pula bentrok bersenjata dengan pendukung "Republik Maluku Selatan" yang hendak memisahkan diri dari Republik, kemudian dengan "Gerakan Aceh Merdeka" dan dengan "OPM". Pada akhir 1950-an meletus "perang saudara" di Sumatra dan di Sulawesi Utara, dalam peristiwa PRRI dan Permesta. Yang kini diingat dengan pelbagai perasaan dan sikap: pembunuhan besar-besaran yang berlangsung terhadap orang-orang komunis, atau yang dianggap komunis, di paruh kedua tahun 1960-an. Kemudian Indonesia mengambil wilayah Timor Timur dan perang berkobar lagi, sementara teror dan kontra-teror mengambil nyawa berkali-kali...
Mungkin sejarah kekerasan yang panjang itu -- yang tak dialami Singapura, Malaysia, Swedia dan Australia, misalnya -- ikut membentuk pandangan kita tentang kematian-- khususnya kematian yang dipaksakan. Trauma yang terjadi menyebar, tapi justru dengan demikian ia tak lagi luar biasa.
Bahkan mati adalah bagian kehidupan sehari-hari.
Ada sebuah esei Geoffrey Gorer dari tahun 1955. Di Inggris di zaman Ratu Victoria, katanya, kematian bukan saja dianggap lumrah, tapi juga mengandung keagungan -- terutama ketika yang tergambar, seperti dalam karya-karya sastra masa itu, adalah sikap tabah mereka yang berkabung. Ada yang menyebut bahwa Gorer melebih-lebihkan keadaan zaman itu sebagai "the golden age of grief", masa keemasan perkabungan. Tapi yang menarik dari eseinya saya kira tetap sahih: setelah masa Victoria berlalu, di abad ke-20, orang bisa bicara tentang "the pornography of death."
Di abad ke-20 dan di abad ini, kematian dianggap tak patut dibicarakan di depan anak-anak. Menurut Gorer, tak ada lagi novel yang menggambarkan proses menjelang maut secara grafis. Bahkan ada suatu masa ketika harian Christian Science Monitor menolak memuat kata "kematian". Kematian terjadi dalam perang, dalam malapetaka, dalam peristiwa-peristiwa publik, tapi seakan-akan hanya di sanalah manusia menemui ajal. Di sebuah masyarakat di mana wabah tak pernah menjamah, bencana alam sangat jarang dan orang-orang tua berusia sangat lanjut, kematian adalah sesuatu yang tertutup.
Rata-rata orang di Amerika meninggal bukan di rumah, melainkan di rumah sakit. Jenazah akan diletakkan di rumah jenazah. Kata "rumah-orang-mati", sejak abad ke-19 diperhalus menjadi morgue.Sanak keluarga, terutama anak-anak, akan datang berkabung dan menengok sesuatu yang sebenarnya disembunyikan sekana-akan sebuah gambar cabul:mayat itu bukan lagi mayat, melainkan tubuh yang dihias dan diberi pakaian rapi. Jasad yang tak bernyawa itu dilulur dengan balsam: sebuah indikasi bahwa kematian sudah jadi tabu, dan tabu -- ketika dilanggar -- melahirkan pornografi.
Di Indonesia sebaliknya.Kita biasa melihat sanak keluarga yang terbaring sebagai mayat di kamatr sebelah. Ia mungkin mati karena demam berdarah, atau karena ketabrak mobil, atau karena ia berada di sebuah lokasi gempa atau tanah longsor. Di Indonesia, satu kalimat sajak Subagio Sastrowardojo lebih berlaku: "Kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi".
Orang akan berduka, ada trauma, tapi (dan ini saya rasakan dalam keluarga saya setelah ayah dimakamkan, dan orang berbicara baik tentang almarhum), trauma itu bisa berubah. Rasanya , "Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua pulih..."
Dalam sajaknya yang lain, Subagio memandang kematian bahkan lebih ringan: ia menyebutnya sebagai "tidur yang lebih lelap". Kematian bukan Sang Maut, sebuah kehadiran lain di luar aku, melainkan bagian diriku sebagai proses:
Waktu tidur tak ada yang menjamin kau bisa bangun lagi
Tidur adalah persiapan buat tidur lebih lelap
Diujung ranjang menjaga bidadari menyanyi nina-bobo
Tapi tentu kita tak tahu, begitukah kiranya seseorang memandang akhir hidupnya ketika ia tahu esok hari ia akan dicabut nyawanya di depan regu tembak. .
Saya hanya bisa bayangkan rasa ngeri yang tetap tak dapat diabaikan. Kekejaman yang tersirat di dalam pelaksanaan hukuman mati adalah kesewenang-wenangan jika kita melihat betapa ada orang yang merasa mampu memberi keputusan final tentang sifat dan nasib orang lain.
Itu sebabnya saya tak setuju hukuman mati. Tapi saya kira perlu sebuah perjalanan sejarah yang baru bagi orang di Indonesia -- sebagaimana bagi orang di Belanda dan Australia -- untuk menolaknya beramai-ramai. Kita perlu sejarah yang lebih damai, sejarah yang tiap kali meneguhkan keadilan karena menyadari ketidak-adilan dengan gampang dilakukan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo