Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir separuh lingkar bumi harus ditempuh kapal Olympic untuk mengantar 950 ribu barel minyak ke tanah Jawa. Dari Afrika Barat, tanker berbobot mati lebih dari 150 ribu ton itu diperkirakan sampai di Cilacap, Jawa Tengah, pada 24 Maret mendatang.
"Isinya minyak mentah dari Sonangol. Minyak akan masuk dan diolah langsung di Kilang Cilacap," ujar Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang, Kamis pekan lalu.
Sonangol yang dimaksud adalah Sonangol EP, perusahaan minyak pelat merah asal Angola yang angka produksinya mencapai 1,8 juta barel per hari. Minyak yang dikirim ke Cilacap adalah kargo kedua yang diterima oleh Pertamina dari Sonangol. Dengan jumlah setara, kargo pertama telah tiba dan diterima kilang Balikpapan, Februari lalu. Artinya, 1,9 juta barel crude dari Angola sudah masuk ke Indonesia awal tahun ini.
Menurut Vice President Integrated Supply Chain Pertamina Daniel Purba, pengiriman minyak dari Sonangol ini bakal berlangsung selama enam bulan terhitung sejak Februari. Minyak yang dipasok oleh Sonangol adalah minyak Cabinda dengan kategori berat atau heavy crude. "Pembeliannya dilakukan oleh Petral sebelum ada perombakan fungsi dan direksi," kata Daniel.
Itu artinya impor minyak mentah sebanyak 5,7 juta barel dalam enam paket itu sama sekali tak seperti isi nota kesepahaman yang pada akhir Oktober tahun lalu ditandatangani Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Angola sekaligus bos Sonangol, Manuel Domingos Vicente. Dalam nota itu, Sonangol berjanji akan memberikan diskon sebesar 15 persen dari harga rata-rata minyak yang dibeli Pertamina. Berdasarkan hitungan diskon itu pula Presiden Joko Widodo sempat berbangga bahwa skema baru kerja sama ini akan bisa menghemat ongkos belanja minyak sampai Rp 11 triliun per tahun.
"Diskon 15 persen itu omong kosong," ucap seorang pejabat Pertamina. "Memangnya minyak mereka tidak laku? Dari awal kami sudah curiga itu."
RENCANA kongsi PT Pertamina dan Sonangol memang sering tarik-ulur. Sejak penandatanganan perjanjian kerangka kerja sama atau framework agreement pada 31 Oktober 2014, Pertamina dan Sonangol hingga kini tak kunjung mencapai kata sepakat.
Kedua perusahaan minyak tersebut semestinya membentuk perusahaan patungan atau joint venture untuk menindaklanjuti perjanjian. Ada tiga poin kerja sama yang ditekankan, yakni eksplorasi lapangan migas, pembangunan kilang, dan impor minyak. Gugus kerja pun dibentuk untuk membahas tiga poin tersebut. Pertemuan digelar hingga beberapa kali, baik di Jakarta maupun Singapura.
Pertemuan di Jakarta berlangsung dua kali pada 10 dan 11 November 2014. Pertamina diwakili beberapa anggota direksi dari Pertamina Energy Trading (Petral), divisi pengolahan, dan divisi pemasaran. Sedangkan Sonangol diwakili para pejabat mereka dari China Sonangol, anak usaha Sonangol EP, yang mengaku hanya berperan sebagai jembatan dalam transaksi ini.
Dalam beberapa pertemuan itulah, kata pejabat Pertamina, tangan-tangan politik ikut berperan. Apalagi, dia melanjutkan, banyak yang maklum belaka bahwa taipan Cina di belakang China Sonangol adalah Sam Pa, yang tak lain rekan bisnis Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, yang jadi salah satu pengusung utama pencalonan Joko Widodo dalam pemilihan presiden tahun lalu. Kepentingan Surya dalam beberapa negosiasi ini kerap diwakili oleh kehadiran Enggartiasto Lukita, pengusaha properti yang juga salah satu ketua di Partai NasDem.
Surya, yang dicoba dihubungi melalui berbagai cara, tak bersedia merespons atau memberi penjelasan. Tapi Enggartiasto mengakui perannya dalam beberapa pembicaraan yang ia sebut sebagai usaha "menjembatani". Menurut dia, keterlibatannya di sana ketika itu murni untuk membantu negara. Ia tak mau melihat impor minyak dikuasai kelompok tertentu yang selama ini banyak ambil untung dari transaksi tersebut. "Kita harus do something untuk penghematan negara," ujarnya.
Seorang petinggi Pertamina menuturkan, pertemuan lanjutan antara Pertamina dan Sonangol di Jakarta tidak menghasilkan apa-apa. Eksplorasi migas buntu karena lapangan yang diajukan tidak jelas. Pembangunan kilang juga berakhir sebagai wacana karena proposal dan hasil studi tak kunjung diberikan. Bahkan, untuk urusan kilang, pihak Sonangol mengajukan usul agar pembangunan dilakukan di Angola. "Di sini saja kita masih kekurangan kilang. Inilah yang membuat tidak ada titik temu," katanya.
Tak kunjung sepakat soal eksplorasi dan pembangunan kilang, Sonangol tetap ngotot agar kerja sama impor minyak bisa terwujud. Enggar, yang hadir dalam sebuah pertemuan, meminta impor tetap berjalan. "Harus dicoba, minimal untuk impor," ucap Enggar saat itu, seperti ditirukan seorang pejabat yang turut hadir.
Berbekal harapan adanya penghematan uang negara seperti dijanjikan Sonangol, rapat pun pindah ke Singapura untuk merinci mekanisme impor minyak. Sesampai di sana, Pertamina mulai sadar bahwa penghematan yang dijanjikan Sonangol rupanya sebatas harapan palsu.
Mantan Chairman Petral Chrisna Damayanto menuturkan, saat itu Sonangol berkeras tidak mau memberikan diskon seperti yang dijanjikan. Alasannya karena Pertamina menggunakan Petral untuk transaksi tersebut. "Padahal semestinya tidak berpengaruh. Petral itu seratus persen milik Pertamina. Jadi apa bedanya?" ujar Chrisna.
Setelah empat jam diskusi mandek, rapat akhirnya dibubarkan. Notulen rapat pun langsung dikirim ke Pertamina di Jakarta pada 19 November 2014. Isinya kesimpulan bahwa kerja sama tak mungkin dilanjutkan.
MASUKNYA minyak mentah Sonangol di tengah tak jelasnya kelanjutan kerja sama mereka dengan Pertamina menimbulkan kecurigaan bagi Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Kardaya Wanika. Dalam rapat dengar pendapat pada awal Februari lalu, dia menanyakan proses impor dari Angola tersebut. "Transparansinya harus dijelaskan," kata Kardaya.
Ahmad Bambang menjelaskan, minyak yang diimpor dari Sonangol dan masuk ke kilang Pertamina sejak awal tahun ini tidak terkait dengan kerja sama dan pembentukan joint venture yang diteken Oktober tahun lalu. "Ini proses business to business. Petral ikut tender ke Sonangol," ujar Bambang.
Menurut dia, tender diikuti Petral sebelum adanya perjanjian itu. Minyak dibeli langsung oleh Petral dengan harga pasar plus-minus US$ 50 sen-US$ 1 per barel. "Semua sesuai dengan prosedur dan transparan," Daniel Purba menambahkan.
Tapi hal itu ditampik oleh bekas pejabat Pertamina yang memiliki wewenang dan akses menelusuri seluk-beluk impor minyak. Menurut dia, transaksi impor minyak dengan Sonangol selama ini lebih bersifat seketika dan tidak ada proses tender dengan perusahaan itu hingga Oktober tahun lalu. "Kalau ada, seharusnya saya mendapat laporan," ujarnya.
Ia menduga transaksi impor minyak Sonangol ini sebenarnya masih terkait dengan perjanjian yang sempat menggantung dulu. Apalagi alur proses dan waktu perjanjiannya serupa dengan penawaran yang diajukan Sonangol saat itu.
Pejabat tersebut menjelaskan, dalam pembahasan kerja sama joint venture saat itu, Sonangol menawarkan impor berlangsung selama setahun mulai Januari 2015. Tapi Pertamina mau mencoba enam bulan lebih dulu, dengan kesempatan mengkaji kontrak setiap tiga bulan.
Berdasarkan hitungan, setiap kargo yang datang dari Sonangol ke Indonesia berkisar US$ 60 juta. Artinya, nilai kontrak untuk mendatangkan enam kargo minyak dari Angola ini mencapai US$ 360 juta atau Rp 4,6 triliun lebih. "Kalau transaksi ini benar tetap jalan, yang mungkin sedang terjadi di sini adalah Petral yang terlalu berani atau justru terlalu takut kepada yang ada di belakang Sonangol," katanya.
Transaksi ini bukannya tak berdampak negatif pada Pertamina. Selain diskon yang gagal, Pertamina ketiban pusing akibat ongkos sewa kapal yang selangit. Sekali sewa untuk angkut satu kargo minyak bisa menguras kantong Pertamina sebanyak US$ 4,7 juta. Pertamina terpaksa menyewa karena belum memiliki kapal dengan kapasitas angkut dalam jumlah besar.
Kapal terbesar Pertamina hanya berkapasitas maksimal 600 ribu barel. Upaya lobi dengan Sonangol agar pengangkutan minyak bisa dipecah beberapa kali pun belum membuahkan hasil. "Padahal, kalau bisa, kami bisa hemat hingga US$ 700 ribu sekali angkut," kata pejabat lain di Pertamina.
Daniel Purba menegaskan, transaksi impor dengan Sonangol tidak bersifat permanen. Pertamina mempunyai hak mengevaluasi pada bulan ketiga soal kelanjutan kontrak itu. "Kalau happy, kita lanjut. Kalau tidak happy, ya, kita stop. Yang pasti, ini tidak ada kaitannya dengan politik."
Gustidha Budiartie, Bernadette Christina, Ayu Prima Sandib
Tong Kosong Minyak Sonangol
MENERIMA tongkat estafet dari Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo sekaligus mewarisi kantong yang jebol akibat beban subsidi energi dan bahan bakar minyak yang terlalu berat. Dalam situasi itulah ia mendapat janji surga yang dibawa Wakil Presiden Angola yang juga bos perusahaan minyak Sonangol EP, Manuel Domingos Vicente.
Pertemuan mereka tentu saja tak terjadi tiba-tiba. Jauh sebelum acara pada pengujung Oktober tahun lalu itu, lobi pendahuluan telah dijalin melalui Sam Pa. Konglomerat asal Cina ini adalah pemilik 70 persen saham China Sonangol, anak usaha Sonangol EP di Cina. Dia datang ke Jakarta dibawa Surya Paloh, rekan bisnisnya yang juga Ketua Umum Partai NasDem.
Singkat cerita, perjanjian kerja sama pun dijalin. Isinya meliputi rencana eksplorasi, pendirian kilang, dan impor minyak mentah lengkap dengan janji diskon 15 persen dari harga pasar. Tapi antara janji dan realisasi ternyata tak sama. Berikut ini gambarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo