Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mati

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Mati
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pada suatu sore tahun 1947, ayah saya dieksekusi oleh pasukan Belanda yang menduduki kota kami. Saya, anak terkecil, tak diperkenankan melihat jasadnya. Tapi kemudian Ibu bercerita bahwa ada tiga butir peluru yang ditembakkan ke kepala Bapak.

Keluarga kami tak pernah tahu kenapa ia dihukum mati. Tak ada pengadilan pada hari-hari itu. Pasukan Belanda baru saja merebut kota kami, malamnya seorang gerilyawan melemparkan granat ke markas mereka dan membunuh entah berapa orang serdadu, dan Bapak mungkin berkaitan dengan itu semua, tapi mungkin tidak. Barangkali ia?yang dibuang ke Digul beberapa belas tahun sebelumnya setelah pemberontakan gerakan kiri yang gagal pada 1927?sudah ada dalam daftar orang yang tak dikehendaki.

Sejak itu saya tahu, kekerasan dan kematian terjadi ketika ada orang yang tak dikehendaki dan sebuah kekuasaan jadi cemas. Pada 1965-1966 berpuluh-puluh ribu orang dibunuh ketika Indonesia cemas?sebuah perasaan yang makin akut karena waktu itu tak jelas siapa gerangan "Indonesia" yang cemas itu. Tiap kali masyarakat guyah, tiap kali sesuatu yang dapat dijunjung ditegakkan, dan tiap kali ada yang harus disingkirkan. Membangun adalah menghancurkan. Dalam takhayul di kota saya di pantai utara Jawa, harus ada kepala yang dipotong ketika orang membuat jembatan. Mungkin itu juga yang tersirat dalam legenda tentang Roma yang termasyhur itu: di bukit tempat kota itu didirikan, Romulus membunuh saudara kandungnya, Remus, sebelum tata dan tertib lahir.

Itu sebabnya orang menghukum mati orang lain, bila ia ada dalam daftar yang tak dikehendaki. Si "bersalah", si "ganjil", tak hanya harus diubah dalam sikap. Tubuhnya harus ditiadakan. Semangat totaliter (Stalin dalam Revolusi Rusia, Mao dalam Revolusi Cina, dan Khomeini dalam Revolusi Iran) selalu ingin menciptakan "manusia baru". Maka orang dijejali doktrin, diolah lewat proses "transformasi pikiran". Stalin mengerahkan seniman untuk mempraktekkan "realisme sosialis", sebab mereka adalah "insinyur jiwa manusia". Mao mendera rakyat Cina untuk menghafal "Buku Merah". Khomeini mengontrol pikiran orang ramai dengan fatwa, titah Tuhan, dan sabda Nabi. Tapi pada saat yang sama, orang juga dibunuh. Bangkai yang tergolek di lapangan eksekusi adalah tanda terakhir bahwa tubuh mempunyai arti.

Tubuh pada akhirnya memang bagian sentral kehidupan politik. Pada 1995 Agamben menulis Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, dan salah satu tesisnya ialah: tubuh hadir membentuk kehidupan politik. Bios, kehidupan politik, memasukkan ke dalam dirinya zoe, kehidupan alami manusia. Ingat, katanya, demokrasi Eropa dimulai dengan habeas corpus: perintah mahkamah untuk menghadirkan orang yang ditahan ke depan hakim, agar dapat ditentukan sah atau tidaknya penahanan. Dalam artinya yang harfiah, habeas corpus adalah "Anda dapat mendapatkan tubuh itu".

Tapi masuknya tubuh ke kehidupan politik juga telah menyebabkan pelbagai horor. Kita tahu yang iblis dalam rasialisme. Yang dibinasakan, disingkirkan, dan ditindas bukanlah mereka yang jahat. Penolakan berpangkal pada kulit, bentuk hidung, jenis rambut, dan segala pembawaan yang tak dapat dipilih dalam kandungan sang ibu.

Juga hukuman mati: yang dihabisi bukan perbuatan, tapi kerja jantung, limfa, paru, dan otak. Adorno benar: sejak Auschwitz, rasa takut akan mati berarti rasa takut akan yang lebih buruk ketimbang mati. Di kamp konsentrasi, kamar gas, dan di saat eksekusi yang ditetapkan Negara untuk mengurangi jumlah perusuh, yang terjadi bukan saja rasa sakit jasmani bagi individu, tapi rasa sakit yang dihadapi seseorang ketika "individualitas nyaris punah".

Saya ingat Bapak. Saya tak pernah tahu mereka tutupikah matanya di depan regu tembak sore itu dengan sepotong kain. Kekuasaan yang beradab melakukan hal itu?tapi juga di sini kisah peradaban adalah kisah kebiadaban. Kain yang menutupi mata itu juga menutupi sesuatu yang penting dalam wajah manusia. Praktis ia menutupi seluruh wajah. Artinya: ia membungkus apa yang "lain" agar tampak jadi "sama". Hukuman mati adalah sejenis materialisme yang ganas dan menipu dirinya sendiri. Ia menghormati yang jasmani tapi pada saat yang sama menghilangkan yang berarti, dan beragam, dari yang jasmani.

Tapi tak hanya di depan regu tembak hal itu terjadi. Yang jasmani secara tak kentara kian menggusur "individualitas yang nyaris punah" ketika kelaparan, kekurangan tempat, kekurangan air, menjarah sebuah wilayah yang padat. Mungkin itu sebabnya di negeri-negeri miskin, orang tak menggugat hukuman mati sebagai sesuatu yang keji. Di sini, yang lebih buruk ketimbang mati adalah hidup yang rudin, terjepit, dan sekarat. Tak mengherankan bila dari sini ada suara yang menggugat: gerakan anti-hukuman-mati yang kita dengar sekarang adalah tanda keberlimpahan Eropa.

Eropa memang punya banyak keberlimpahan?di antaranya sejarah yang bengis dan penuh kesalahan. Sering kita lupakan bahwa Kant, yang jauh pada abad ke-18 telah memberikan dasar filsafat yang kini dipakai untuk perjuangan hak asasi manusia?yang bicara bahwa "kemanusiaan" bukanlah cuma alat, tapi tujuan?adalah orang yang setuju hukuman mati bagi para pembunuh. Ia, yang seumur hidup tak pernah pergi keluar dari Könisberg, kota kecilnya di Prusia Timur, memang orang yang gentar akan kekacauan.

Tapi mungkin kita tahu kenapa. Bahkan dalam pikirannya yang luhur itu Kant lebih bicara tentang "kemanusiaan", atau "manusia", ketimbang tentang subyek-subyek yang empiris, yang hidup dalam pengalaman sejarah. "Manusia": sesuatu yang abstrak. Dalam abstraksi itu, manusia?tanpa tubuh, tanpa perubahan?akan punah seluruhnya ditelan bios, dicengkeram kehidupan politik.

Sejak itu, kita tahu kekerasan dan kematian bermula dengan segala bentuknya. Dengan tiga butir peluru Eropa menembus kepalanya, ayah saya hanya sebuah contoh.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus