Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUMAYAN ramai tepuk tangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Sugiharto, Kamis dua pekan lalu. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini bertekad menjadikan perusahaan negara lembaga profesional, transparan, dan punya akuntabilitas tinggi. "Saya tidak ragu-ragu melakukan pembersihan di Kementerian BUMN," katanya.
Sugiharto lalu menjanjikan reformasi total di lembaga yang mengelola aset negara bernilai hampir Rp 1.200 triliun itu. Sejumlah paket sudah disiapkan, seperti pengawasan melekat yang mengharuskan komisaris dan direksi BUMN menandatangani kontrak kerja. Pemerintah juga akan menerapkan tata pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance)—yang sudah sering kali dijanjikan menteri-menteri sebelumnya.
Bekas eksekutif Grup Medco ini bahkan berjanji akan memulai pembersihan dari dirinya sendiri. "Bagaimana kami bisa memberantas KKN kalau kami sendiri tidak bersih," ujarnya, gagah. Nah, pernyataan terakhir inilah yang belakangan panjang buntutnya. Sejumlah indikasi beredar: sang Menteri punya masa lalu tak terlalu kinclong.
Sugiharto masuk daftar orang tercela (DOT) Bank Indonesia, yang membuatnya dinilai tak patut merestrukturisasi sejumlah bank milik pemerintah yang berada di bawah pengelolaan Kantor Menteri Negara BUMN. Surat bernomor 1/158/DWG/UPwBI/Rahasia tertanggal 23 Juli 1999 itu membeberkan hasil pengawasan dan pemeriksaan Bank Indonesia pada Juni 1999 di Bandung.
Sebagai komisaris di Bank Himpunan Saudara 1906, Sugiharto menyetujui penyetoran modal Rp 10 miliar yang berasal dari konversi modal pinjaman. Dananya berasal dari fasilitas kredit yang diterima PT Semen Gombong. Sugiharto secara tidak langsung juga menyetujui pemberian kredit kepada pihak terkait melalui 11 perusahaan multifinance untuk menghindari pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK).
Pinjaman itu ternyata kemudian macet. Untuk mengurangi penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) agar rasio kecukupan modal (CAR) menjadi empat persen, kredit macet itu dilunasi dengan memberikan fasilitas cerukan (overdraft facility) kepada pihak terkait—kreditnya dipindahkan ke semacam rekening koran, sehingga posisi pinjamannya bisa naik-turun dan bunga hanya dikenakan jika debitor menarik pinjamannya.
Sugiharto juga dinilai melakukan penyimpangan ketentuan internal mengenai kewenangan memutus kredit. Atas tiga kesalahan itu, ia mendapat status tercela dan tidak memenuhi kriteria sebagai pengurus bank. Dia diminta melepas jabatannya sebagai Komisaris Bank Himpunan Saudara 1906, paling lambat pada 31 Juli 1999.
Sumber Tempo di Bank Indonesia mengatakan surat itu sudah diperbarui pada 2001 dan berlaku selama lima tahun ke depan. Dengan demikian, status DOT Sugiharto baru berakhir pada 2006. Nah, ke_tika jatuh tempo, mereka yang masuk daftar tercela BI bisa saja mengajukan permohonan agar surat itu ditinjau kembali. Bank sentral akan mengambil keputusan apakah akan menerima permohonan itu atau sebaliknya memperpanjang masa berlakunya.
Tak hanya kasus itu yang melilit bekas direktur di perusahaan milik Arifin Panigoro, Grup Medco, ini. Yang lain adalah transfer 25 persen saham Mega Caspian Petroleum ke sebuah perusahaan minyak pada 1999. Pemindahan ini dinilai melanggar karena saham itu merupakan jaminan utang perusahaan ini kepada Jasindo. Ketika itu, Mega Caspian akan menggugat Sugiharto dan tiga petinggi Medco lainnya ke Pengadilan Tinggi Singapura.
Mereka diberi waktu 21 hari menjawab gugatan itu. Pada 31 Mei 1999, Sugiharto dan tiga petinggi Medco lainnya membuat surat pernyataan meminta maaf atas transaksi tersebut. Karena itu, Mega Caspian kemudian menarik kembali gugatannya dari Pengadilan Tinggi Singapura.
Anggota DPR, yang semula mendukung penuh Sugiharto, mulai goyah ketika sejumlah fakta itu bergulir. Tekanan agar mengundurkan diri mulai bertiup, meski belum terlalu kencang. Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR, Rizal Djalil, meminta Sugiharto mengundurkan diri supaya tidak menjadi beban politik bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat ini, katanya, persoalan politik di Indonesia sudah selesai. Yang masih tersisa adalah reformasi ekonomi, sehingga menteri di bidang ini harus bekerja maksimal. Itu akan tercapai jika para menterinya tidak terbebani persoalan masa lalu. Anggota Dewan Penasihat DPP Partai Demokrat, Vence Rumengkang, menyerahkan soal itu kepada presiden. "Jika benar, presiden pasti mampu mengevaluasi pembantunya," katanya.
Dia menegaskan, Partai Demokrat tidak akan berseberangan dengan pemerintah dan akan mendukung apa pun keputusan presiden tentang hal itu. Sugiharto sendiri bagaimana? Ia mengaku tidak pernah mendapat surat Bank Indonesia itu. Surat itu, katanya, mungkin saja ada, tapi ia mempertanyakan apakah ada bukti dia menerima surat itu.
Dia juga merasa tak pernah dipanggil Bank Indonesia untuk mengikuti uji kepantasan (fit and proper test) dan wawancara. "Tunjukkan notulen rapat BI yang menyatakan saya hadir dalam rapat itu dan apakah saya diberi hak pembelaan," katanya. Dalam surat itu memang disebut, penilaian Bank Indonesia didasarkan serangkaian wawancara dengan pemegang saham dan pengurus bank itu.
Menteri Sugiharto pun heran mendapat surat tersebut, karena merasa berhasil mengelola Bank Himpunan Saudara 1906 hingga mendapat kategori A atau bank sehat, dari Bank Indonesia pada 5 Maret 1999, tiga bulan sebelum ia mendapat surat DOT itu. Sebenarnya, kata Sugiharto, dia sudah beberapa kali mengajukan pengunduran diri, tapi tidak diterima. Izin mundur baru didapatnya pada Juni 1998, tapi ia resmi keluar dari bank tersebut pada Maret 1999.
Terlepas dari penilaian Bank Indonesia, Sugiharto mengatakan status yang diterimanya tak bisa dikaitkan dengan jabatan menteri yang sekarang dipegangnya. Sanksi itu hanya mengharamkan dia bekerja kembali di perbankan. "Menjadi presiden pun boleh," katanya. Apalagi, bank yang dulu dipimpinnya itu tidak pernah mengecap duit negara satu sen pun.
Bank Himpunan Saudara, menurut dia, juga tidak melanggar batas maksimum pemberian kredit. Yang terjadi adalah pelampauan batas karena krisis ekonomi. Ketika itu banyak masyarakat menarik dananya sehingga bank meminjam uang dari pasar, yang bunga overnite-nya mencapai 500 persen. Akibatnya, bank kekurangan modal dan neracanya negatif.
Status itu, katanya, juga tidak berkaitan dengan tugasnya sebagai Menteri Negara BUMN yang menentukan komisaris dan direksi bank-bank pelat merah. Meski punya hak memilih komisaris dan direksi bank BUMN, uji kelayakan dan pengesahan pejabat bank tetap di tangan Bank Indonesia.
Mengenai kasus di Pengadilan Tinggi Singapura, dia mengatakan kesalahan tak ada di pihaknya. Gugatan datang dari lawyer yang juga menjadi pemegang saham di perusahaan itu. "Ada unsur pengelabuan oleh lawyer itu sehingga Pak Hilmi Panigoro mencari jalan keluar," tuturnya. Ketika gugatan itu datang, Sugiharto balik menggugat. Penggugat kemudian mengajukan syarat damai asalkan dia dan tiga petinggi Medco lainnya meminta maaf. "Jadi, minta maaf itu untuk mengikuti prosedur Pengadilan Tinggi Singapura agar gugatan bisa dicabut," katanya.
Sugiharto tak menjawab pasti apakah mencuatnya kembali masa lalunya itu terkait dengan keinginannya yang kuat mereformasi kementerian basah itu. Yang pasti, katanya, komisaris dan direksi perusahaan negara tak boleh lagi berleha-leha. Mereka akan dipasangi target dengan menggunakan key performance indicator (KPI). "Kalau tidak berhasil mencapai KPI ini, akan mendapat punishment," katanya. KPI ada dalam kontrak kerja yang harus ditandatangani komisaris dan direksi BUMN. Sugiharto yakin, cara ini bisa menggenjot kinerja BUMN.
Hanya, Sugiharto memang perlu segera menjadikan masalah ini terang-benderang. Seperti dikatakannya sendiri, akan sulit bagi Menteri Sugiharto membersihkan rumah jika ia sendiri di mata pihak lain tidak bersih. Apalagi, Sugiharto baru menjalani dua bulan dari 60 bulan masa jabatan menteri—tentu saja jika Presiden Yudhoyono mempertahankan posisinya.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo