Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah Koeli Ordonantie dan Abang Sam

Tekanan dari luar telah menimpa pemerintah Hindia Belanda mengubah satu aturan perburuhannya. Gejala globalisasi di zaman kolonial dulu.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Kisah Koeli Ordonantie dan Abang Sam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950) Penulis: T. Keizerina Devi Kata Pengantar: Erman Rajagukguk Penerbit: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2004 Tebal: 410 hal + xiii

Nietzsche, filsuf eksistensialis Jerman, menggambarkan negara sebagai sesuatu yang mengerikan. Seperti monster: hidup, tapi kaku bagai besi. Dari sosoknya mengalir peraturan, ketentuan hukum, yang mengatur perikehidupan warganya, termasuk peraturan yang melindungi satu kelompok, mengancam kelompok lain. Buku karya T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), berbicara tentang ketidakadilan itu, juga sebuah kondisi khusus yang akhirnya mengubah sikap tersebut.

Ya, buku yang berangkat dari disertasi doktor di Universitas Sumatra Utara ini menyinggung globalisasi ekonomi yang berjalan melalui tekanan dan perjanjian internasional. Dan itu terjadi di Deli, Sumatera Utara, dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Semua berangkat dari satu kenyataan. Pada zaman penjajahan, Deli merupakan penghasil devisa penting bagi pemerintahan Hindia Belanda. Tembakau Deli berkualitas baik, primadona di pasar dunia, dengan biaya produksi murah.

Demi mengakomodasi keinginan pengusaha, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang menjamin pemilik perkebunan dapat memperoleh, mempekerjakan dan mempertahankan kuli untuk bekerja di perkebunan dan industri di Sumatera Timur untuk kurun waktu tertentu. Itulah Koeli Ordonantie (Poenale Sanctie) melalui Besluit Nomor 1 tanggal 13 Juli 1880 yang diundangkan dalam S. 1889 No. 133. Dengan ordonantie ini, pengusaha dapat memperhitungkan biaya produksi dan keuntungan panen yang akan mereka dapat dengan pasti (hlm. 104).

Tak ada masalah dengan jaminan un-tuk mendapatkan tenaga kerja secara formal, kecuali hal itu menimbulkan ketidakseimbangan perlindungan terhadap majikan dan buruh. Selain upah buruh sangat murah, juga masih ada sanksi lain yang cukup memberatkan buruh. Dalam Pasal 8 Ordonantie, misalnya, ditentukan bahwa "setiap pelanggaran atas kontrak kerja dihukum; pada pihak pengusaha dengan denda uang maksimal f 100, pada pihak pekerja dengan hukuman kerja paksa pada proyek negara tanpa upah, maksimal 3 bulan. Selain itu, pekerja dianggap melanggar kontrak kerjanya secara sepihak apabila : a. desersi; b. menolak melakukan pekerjaan lebih lanjut. Padahal, pengusaha yang melanggar kewajiban hanya dihukum denda.

Poenale Sanctie yang heboh ini mengundang perlawanan kaum pergerakan Indonesia, menjadi pembahasan di Volksraad, perdebatan di parlemen Belanda, serta mengundang tekanan dari Amerika Serikat. Volksraad sepakat Poenale Sanctie itu tidak berguna bagi keselamatan kuli dan bahwa setiap orang berhak dan bebas merdeka menentukan pekerjaan apa yang ia sukai dan yang dengan apa ia akan menghidupi dirinya. Yang menarik dari buku ini adalah tekanan Amerika Serikat terhadap pemerintah Belanda mengenai syarat dan kondisi perburuhan pada saat itu.

"Blaine Amendment" dan "Kendall Bill", amendemen yang melarang masuknya produk-produk yang dihasilkan pekerja paksa dan pekerja kontrak (indentures labor) di Amerika, bukanlah semata-mata berdasarkan pertimbangan kemanusiaan terhadap kehidupan buruh di Sumatera Timur. Poenale sanctie telah meruntuhkan daya saing tembakau Amerika. Upah buruh yang sangat murah di perkebunan Deli menjadikan harga tembakau Deli jauh lebih murah dari tembakau Amerika. Menyadari ekspor tembakau Deli ke Amerika akan mengalami kemacetan, pemerintah Hindia Belanda menggubris ancaman ini dengan serius.

Buku ini mengingatkan kita bahwa hukum yang terlampau berpihak terhadap kalangan tertentu cepat atau lambat akan menuai badai. Hukum yang tidak memberi kesempatan merata kepada setiap warga negara akan mengalami berbagai penentangan. Terlebih-lebih dalam suasana perekonomian suatu negara telah terintegrasi dengan globalisasi ekonomi dunia .

Binoto Nadapdap, dosen Fakultas Hukum UKI Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus