Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mau Dibawa ke Mana, Pak

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fiat justitia ruat caelum. Biarpun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan.

Sebaiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono konsisten berpegang pada konstitusi di tengah suara bising politikus yang mendesak pemerintah memaafkan bekas presiden Soeharto. Konstitusi memang tidak memberikan hak prerogatif kepada Presiden RI untuk memberi pengampunan sebelum proses pengadilan selesai.

Indonesia, yang dibalut korupsi stadium gawat, memerlukan seorang pemimpin yang sanggup memastikan persamaan hak dan kewajiban warga negara di muka hukum—seperti spirit adagium Latin tadi. Indonesia perlu panglima yang mengedepankan aturan, ketimbang sekadar menyenangkan sejumlah kolega dan bekas bos. Bertahan di posisi ini tak mudah, juga mendatangkan banyak kecaman dari mereka yang ingin Soeharto dimaafkan dengan berbagai motifnya. Kecaman akan semakin nyaring seiring dengan semakin gawatnya kesehatan pilar Orde Baru yang berkuasa 32 tahun itu.

Di lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina, sekarang kakek 86 tahun itu tak jelas benar keadaannya, ”tertidur” atau ”ditidurkan”. Ia terserang infeksi sistemik. Kelangsungan hidupnya bergantung pada berbagai mesin dengan selang yang menancapi tubuh lemahnya. Pasti banyak orang iba melihat betapa sulit ia berjalan menemui Sang Pencipta.

Presiden tentu boleh bersimpati, membesuknya berkali-kali, tapi tak perlu terjebak melakukan sesuatu yang tak perlu. Pengampunan cuma-cuma, selain tidak pernah diminta oleh Soeharto dan keluarganya, bisa menyulitkan masa depan Presiden Yudhoyono dan Indonesia.

Presiden SBY akan dituduh tidak menjalankan Ketetapan MPR Nomor XI/1998 yang masih berlaku. Ketetapan itu merumuskan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, termasuk pemberantasan korupsi terhadap siapa pun, juga mantan presiden Soeharto dan kroninya. Kita tahu, semua rezim pasca-1998 tidak ada yang melaksanakan aturan hukum itu. Tapi Presiden Yudhoyono akan menerima gugatan paling keras karena saat-saat akhir Soeharto justru terjadi pada masa pemerintahannya.

Pemberian maaf tanpa pengadilan bisa menjadi gerendel yang mengunci pintu masuk pengungkapan kasus-kasus kroni Soeharto. Mudah dibayangkan, seandainya kelak para kroni diseret ke pengadilan, mereka pasti buang badan dan berdalih hanya menjalankan instruksi Soeharto. Tanpa keputusan Soeharto bersalah, entah melalui proses hukum atau politik, semua gugatan ke alamat kroni Soeharto gampang ditekuk. Artinya, penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh para kroni—buah penunjukan langsung, peraturan dan instruksi presiden, atau katebelece Soeharto—di berbagai sektor usaha tidak akan bisa ditinjau ulang, apalagi diakhiri.

Secara politis, pemberian ampun gratis kepada Soeharto merugikan Yudhoyono. Popularitasnya menuju Pemilu 2009 bakal terkuras bila ia memberi ampun, sementara pesaing terkuatnya saat ini, bekas presiden Megawati Soekarnoputri, sulit dibayangkan akan mendahului pemberian maaf itu. Megawati pasti tak pernah lupa keadaan buruk dan serba kekurangan yang dialami Bung Karno menjelang wafat pada masa kekuasaan Soeharto.

Ini saat SBY meneguhkan keyakinan bahwa pemberian maaf akan mengundang anggapan bahwa para pemimpin negara ”kebal hukum”. Ini preseden buruk yang mesti dihindari. Maka, silakan saja bekas Ketua MPR Amien Rais, Wakil Ketua Fraksi PAN Drajad Wibowo, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq, Ketua DPR Agung Laksono, bekas menteri Yusril Ihza Mahendra, berlomba menganjurkan maaf untuk Soeharto dengan berbagai motifnya. Dari mereka yang mengaku barisan reformis ini seharusnya rakyat ingin mendengar pembelaan pada korban pelanggaran hak asasi manusia, termasuk korban kecurangan ekonomi dan politik di bawah Orde Baru.

Seperti yang kami tulis di kolom ini pekan lalu, pengadilan tak pernah menyeret orang sakit. Jika di masa sehat saja tak ada pemerintahan yang sanggup membawa Soeharto ke meja hijau, sekarang ini tidak pantas berpura-pura serius mau menyidangkan jenderal bintang lima itu.

Lagipula, yang diributkan sekarang hanya kasus yayasan, ”ranting kecil” dari ”pohon besar” masalah dugaan korupsi Soeharto. Kasus pokok, yaitu penyalahgunaan wewenang dan jabatan, yang membuat hidup kroni dan anak-anaknya gemah ripah loh jinawi sampai hari ini, sama sekali belum dijamah pemerintah.

Jadi, jangan dulu bicara tentang peradilan kilat sehari seperti usul Buyung Nasution atau peradilan in-absentia. Mulai saja dengan mendata dan menyelidiki sejumlah skandal politik dan ekonomi di masa Soeharto. Setelah semua dokumen lengkap, semua saksi bicara, pemerintah pasti lebih mantap memilih mau ke mana membawa kasus Soeharto ini—jalur hukum atau politik.

Pengalaman selama ini terus-terang membuat kami ragu-ragu tentang kesungguhan politik pemerintah untuk melakukannya. Tapi siapa tahu kami keliru, dan publik mendadak bertempik-sorak menerima kejutan dari Istana—seperti ketika publik mendengar kabar lengsernya Soeharto dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus