Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMU yang baik pertama-tama seyogianyalah memahami adab bertamu. Adagium ini, rasanya, berlaku di seantero ranah peradaban dan di sekujur lintas relasi antarmanusia. Tamu yang baik bukan saja harus menjaga tindak tanduk dan perilaku, melainkan juga memelihara lidah dan sopan santun, sehingga tak akan ada kesan mencampuri urusan ”tuan rumah” dengan cara yang bisa melukai hati.
Satu di antara kenyataan yang muncul dalam proses sakit dan pengobatan mantan presiden Soeharto, hingga memasuki pekan kedua, adalah kehadiran tamu penting dari berbagai negara, baik mantan pejabat tinggi maupun yang masih berkuasa. Sekadar menyebut nama, di antara mereka tercatat mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, dan Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew.
Kedatangan dan perhatian para tamu ini tentulah layak disambut sebagaimana mestinya, paling tidak dalam matra silaturahmi. Encik Mahathir, misalnya, yang datang bersama istrinya, Siti Hasmah, setelah membesuk kolega lamanya, menyempatkan singgah di sebuah rumah makan padang di Jakarta untuk menyantap menu pujaannya. Sultan Bolkiah khusus membawa Mufti Besar Brunei Darussalam untuk mendoakan kesehatan Soeharto.
Mereka tak banyak cakap. Sultan Bolkiah bahkan tak mengucapkan sepatah kata pun. Di luar kawasan rumah sakit, Mahathir Mohamad memang memberikan wawancara ringkas terbatas, semata-mata dan pokoknya menceritakan kesedihannya melihat kondisi seorang sahabat lama, dan mengharapkan kesembuhan sang bekas penguasa. Tak ada ucapan Mahathir yang membuka pintu perbantahan yang memang tidak menguntungkan kedua bangsa.
Lain halnya mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, yang juga mantan menteri senior negerinya dan kini menjabat menteri mentor negara pulau itu. Selama di Jakarta, Lee juga tak banyak cakap. Tetapi, setelah tiba di tanah airnya, Ahad dua pekan lalu, Lee berceloteh kepada pers. Ia, katanya, sedih melihat Soeharto tak sungguh-sungguh memperoleh kehormatan seperti sepantasnya.
Penulis buku Lee Kuan Yew, Alex Josey, memang pernah mengutip seorang diplomat Inggris yang melukiskan Lee sebagai ”orang yang paling brilian, sekalipun agak berandal”. Pada bagian lain buku itu Josey mengungkapkan, ”Dalam hal kebiasaan pribadi, ia cenderung untuk bersifat bertingkah.” Keberandalan dan ”kebertingkahan” memang bagian yang tak terpisahkan dari siapa pun secara umum. Tetapi, secara khusus, ada juga parameter yang bisa menakar keberadaban seseorang pada jenjang derajat dan usia tertentu.
Kalau benar Lee menyatakan ”Soeharto tak sungguh-sungguh memperoleh kehormatan seperti sepantasnya”, ada dua pertanyaan yang perlu diajukan di sini. Pertama, siapa yang hendak disalahkan Lee sehingga, menurut dia, Soeharto tidak memperoleh kehormatan? Kedua, seperti apa, menurut Lee, ”kehormatan yang sepantasnya” itu? Tidakkah komentar itu menyakiti hati para pemimpin dan pemuka negeri ini, yang selama hampir dua pekan perawatan Soeharto memberi perhatian luar biasa dan istimewa?
Jangan-jangan, komentar sang Menteri Mentor lebih ditujukan kepada kawula negerinya, sebagai bekal mereka bersikap jika kelak gaek 85 tahun itu menghadapi saat ”berhalangan tetap”. Jika memang demikian halnya, mengapa harus ”meminjam peluang” dari negeri jiran yang justru sedang banyak urusan? Tak sekali dua kali Lee menyumbangkan ”lagu sumbang” di tengah hubungan kedua negara. Karena itu, layaklah disarankan, sebaiknya ia mengurangi kerajinannya ”bertingkah”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo