Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memancing Amarah Umat

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komaruddin Hidayat Direktur Yayasan Paramadina Seorang teman memberitahukan bahwa lantai dasar Masjid Istiqlal dibom. Saat itu saya tengah memberikan ceramah di kantor Astra di Jakarta Utara. Tapi perasaan dan pikiran saya biasa-biasa saja. Saya sendiri heran: kadar iman saya menurun ataukah saya tidak lagi memiliki kepekaan sosial-politik? Keheranan terhadap diri itu berkurang setelah saya berbincang-bincang dengan beberapa teman yang ternyata memiliki respons serupa. Muncul tiga alasan pokok mengapa kami tidak kaget, gegabah, serta marah mendengar peristiwa brutal dan sangat tak bermoral itu. Pertama, umat Islam tampaknya sudah semakin dewasa dan sadar bahwa di negeri ini selalu saja ada sekelompok petualang politik yang ingin menjerumuskan umat Islam. Caranya: mengadu domba dengan kelompok agama lain ataupun dengan dalih komando jihad yang hendak mendirikan negara Islam. Berbagai dokumen dan kesaksian, yang selama ini tersembunyi, satu per satu mulai terkuak: mengenai adanya aktor-aktor politik dan permainan intelijen yang ingin menjerumuskan dan membuat corengan hitam pada wajah umat Islam. Siapa tahu ini masih kelanjutan dari permainan licik di atas. Kedua, serangkaian berita tindak kekerasan, yakni pembunuhan, penculikan, penjarahan, pengeboman perkantoran, pemerkosaan, dan kejahatan lain yang setiap hari menjadi komoditas media massa, bagaimanapun, membuat nurani kemanusiaan kita semakin tumpul, capek, jenuh, muak, dan marah, serta muncul perasaan negatif lainnya, sehingga berita pengeboman Istiqlal itu lalu dianggap sebagai menu harian dari mata rantai berita kerusuhan dan kejahatan sosial lain. Kalau kemarin terjadi ledakan di Istiqlal, siapa tahu pekan depan terjadi di tempat lain. Selain itu, dari sudut pandang agama, membunuh, menculik, dan memerkosa jauh lebih keji ketimbang merusak bangunan masjid. Ketiga, di samping ikut prihatin terhadap berbagai krisis yang tengah menimpa bangsa ini, saya berusaha menghibur diri dengan cara mencari-cari hikmah dari berbagai musibah yang menimpa kita semua. Sejarah menunjukkan, sebagai sebuah bangsa, kita memiliki success stories dalam menghadapi berbagai ujian di masa lalu, dari tekanan Belanda, Jepang, dan serangkaian pemberontakan di dalam negeri. Ibarat ujian bagi anak sekolah, semua ujian itu telah mengantarkan bangsa ini naik tingkat. Atau, ibarat yang terjadi pada kepompong, berbagai krisis tadi merupakan proses metamorfosis menuju kualitas hidup yang lebih tinggi. Jadi, saya ingin menyikapi berbagai krisis ini sebagai ujian bersama ataupun sebuah proses dan tahapan metamorfosis, yang nantinya akan mengantarkan kita menjadi bangsa besar dengan kualitas moral yang autentik dan tinggi. Tapi, kalau kita tergelincir di tengah jalan, kita akan lebih disadarkan bahwa ternyata diri kita tak lebih dari masyarakat komunal yang barbar. Meminjam filsafat Hegelian, proses kematangan dan kedewasaan sebuah bangsa itu harus melalui tahapan krisis, tak ubahnya sebuah pohon yang memasuki musim dingin. Maka dedaunan yang telah menguning itu harus berguguran oleh terpaan angin, dan kemudian disusul oleh musim semi yang ditandai dengan tumbuhnya kuncup-kuncup dedaunan dan bunga-bunga yang segar, yang akan memperindah pesta rakyat di musim panas. Dengan meminjam logika Hegelian ini, kini kita tengah menyaksikan proses pertumbuhan umat Islam khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, memasuki babak ujian baru yang cukup berat sepanjang sejarah republik, tapi hasilnya akan menentukan nasib dan martabat kita memasuki milenium ketiga dalam percaturan global. Salah satu ujian yang harus lulus tadi ialah penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) sebagai titik tolak membangun etika politik dan tradisi demokrasi yang berkeadaban, yang merupakan cita-cita luhur agama dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, pengeboman Istiqlal hanyalah bagian kecil dari hambatan yang harus kita lalui. Syukurlah umat Islam bisa merespons dengan tenang. Sementara itu, ujian dan tugas yang lebih berat dan lebih serius masih menghadang perjalanan bangsa ini. Semakin dekat pelaksanaan pemilu, diperkirakan persaingan dan konflik vertikal ataupun horizontal akan semakin menajam dan mencekam. Dalam situasi seperti ini, semua umat beragama mestinya terpanggil untuk menciptakan rasa damai yang merupakan misi utama risalah kenabian. Memang, dari berbagai mimbar kampus, masjid, ataupun gereja, diteriakkan kata-kata sakti seperti demokrasi, reformasi, kerukunan, perdamaian, dan persatuan. Namun, ironisnya, di sana-sini masih saja muncul anarki, bakar-bakaran, pengeboman, dan kebrutalan lainnya. Sebagai bangsa, kita memang belum memiliki tradisi sebagai citizen dari sebuah kehidupan negara modern, tapi lebih merasa sebagai member dari sebuah komunalisme etnis ataupun kelompok agama. Kalau paradigma komunalisme tidak diganti oleh paradigma kebangsaan dan citizenship, konflik yang berbau SARA sangat mungkin masih akan berlanjut atau bahkan akan menghancurkan bangunan republik ini. Dengan kata lain, kalau umat beragama?agama apa pun yang ada di negeri ini?akan hidup dan tumbuh dengan sehat, proyek yang pertama dan utama harus dibangun adalah membuat kehidupan berbangsa dan bernegara ini sehat. Artinya, kalau umat Islam, misalnya, memperjuangkan nasib Indonesia, sekaligus mereka memperjuangkan nasib agamanya. Sebaliknya, kalau mereka hanya memperjuangkan Islam atau partainya tapi melupakan perjuangan Indonesia, mereka akan kehilangan semuanya. Kita berharap, dengan munculnya sekian partai yang menggunakan simbol agama dan menyatakan diri sebagai partai yang berideologi agama, khususnya Islam?ibarat permainan bola?mereka bisa menampilkan permainan yang indah, cerdas, dan elegan. Janganlah bermental fighter, yang mengejar kemenangan mutlak, yang tega mencederai dan membunuh lawan. Tapi jadilah a good player, yang menjunjung tinggi sportivitas, tidak menjadi arogan karena menang dan tepuk tangan, tapi tidak juga frustrasi karena kalah dan cacian. Bukankah Allah telah berfirman: fastabiqul-khairat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus