Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

DOT yang Mencelakakan

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pande Radja Silalahi Kepala Departemen Ekonomi CSIS Krisis ekonomi yang dalam dua bulan lagi akan genap dua tahun telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pekerjaan bankir yang dulu menjadi idaman mahasiswa atau pencari kerja?karena menjanjikan kelimpahan material?sekarang ini sudah tidak masuk hitungan alias tidak dipandang lagi. Tapi, setelah mendengarkan penuturan para mantan bankir, kita ikut tersentuh dan bahkan merasa iba. Beberapa di antara mereka hidup bagaikan buron, mereka terpaksa menginap secara berpindah-pindah karena terus diteror oleh orang-orang tertentu. Mereka yang sebelum krisis ekonomi disorot banyak mata karena tampil gaya, sekarang menghindar dari tatapan mata orang lantaran takut kena damprat. Menurut para mantan bankir itu, sebenarnya mereka tidak pantas mengalami penderitaan seperti sekarang. Alasannya, keterpurukan bank-bank di Indonesia bukan semata-mata terjadi karena kesalahan pengelola atau pemilik bank, tapi juga karena kesalahan pemerintah. Kebijakan uang ketat (tingkat bunga tinggi) serta kurangnya kontrol atau bahkan kebijakan otoritas moneter yang tidak konsisten turut menyebabkan bank-bank terpuruk. Hanya saja, apakah kata-kata para bankir Indonesia itu bisa dipercaya? Jika ditelusuri jatuh bangunnya sektor perbankan, jujur harus diakui bahwa kesalahan tidak dapat seluruhnya dibebankan kepada mereka. Pemerintah atau otoritas moneter juga bersalah. Dalam keadaan ekonomi seperti sekarang, usaha menempatkan segala persoalan dalam proporsi yang tepat akan sangat berguna dan hanya dengan cara seperti itulah solusi yang baik akan dapat ditemukan. Solusi memang sangat diperlukan berhubung krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi sangat peka terhadap perilaku para bankir. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa bankir-bakir itulah biang keladi krisis ekonomi. Mereka melanggar ketentuan yang berlaku? misalnya Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)?dan layak dijatuhi hukuman yang setimpal. Sekarang, menjelang diumumkannya rekapitalisasi perbankan, masyarakat dengan keras menuntut agar para bankir yang melanggar ketentuan, namanya diumumkan dan diproses sesuai hukum. Tapi aparat pemerintah terkait kurang memahami atau mungkin juga terlalu memahami tuntutan masyarakat tersebut, sehingga menunjukkan sikap plinplan. Menteri Keuangan, misalnya, pernah berucap akan mengumumkan Daftar Orang Tercela (DOT), tapi kemudian membatalkan rencana tersebut begitu saja. Lain lagi Gubernur Bank Indonesia yang menyatakan?setelah didesak wartawan?bahwa sebelum mengumumkan DOT harus diperhitungkan untung ruginya. Sikap dan pernyataan aparat yang tidak konsisten itu justru membentuk opini masyarakat yang mungkin sekali tidak tepat. Ketidaktegasan otoritas moneter oleh (sebagian) masyakat ditafsirkan sebagai keberpihakan pemerintah pada pemilik atau pengelola bank yang berbuat salah. Keraguan masyarakat terhadap pemerintah semakin luas hingga semakin deraslah tuntutan agar pemerintah segera melakukan pencekalan terhadap bankir. Celakanya, Menteri Keuangan tidak bertindak cepat, sehingga berkembanglah penafsiran negatif atas sikap pemerintah. Tafsiran negatif itu semakin luas sesudah diketahui bahwa sebagian dari pemilik bank yang dianggap melakukan kesalahan telah angkat kaki dari Indonesia. Menteri Kehakiman sendiri secara terbuka menyatakan kekesalannya, karena Menteri Keuangan terlambat memberi daftar cekal kepadanya. Mengamati berbagai kebijakan restrukturisasi perbankan hingga detik ini jelas terlihat bahwa otoritas terkait tidak atau kurang berusaha menghilangkan berbagai kerancuan yang muncul di masyarakat. Sungguh tidak masuk di akal bila seorang Menteri Keuangan atau Gubernur Bank Sentral tidak memahami arti orang tercela atau tidak mengerti makna daftar orang tercela. Bila tidak ada maksud-maksud tertentu, dengan mudah dapat dipahami bahwa orang yang tidak fit and proper mengelola bank tidak sama dengan orang tercela. Bank Indonesia, sesuai wewenang yang ada padanya, boleh saja mengumumkan daftar orang yang dianggap tidak fit and proper, tetapi lembaga ini dapat dianggap melanggar hukum bila mengumumkan daftar orang tercela, karena hal itu bukan wewenangnya. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa habitat orang tercela adalah penjara atau daerah pengasingan. Ini berarti, yang dapat menentukan seseorang tercela atau tidak adalah pengadilan. Sebenarnya, bila tidak terlalu banyak pertimbangan atau prasangka, daftar cekal para bankir dapat dibuat dengan cepat. Yang jauh lebih sulit adalah menyosialisasikan bahwa mereka yang dicekal belum tentu bersalah. Kenyataan menunjukkan bahwa lambannya penyerahan daftar cekal ke Menteri Kehakiman justru membentuk opini di masyarakat bahwa mereka yang masuk daftar cekal telah melakukan kesalahan. Opini seperti itu kian berkembang dengan merebaknya desas-desus bahwa nama-nama yang masuk daftar cekal telah disaring, sehingga nama-nama yang seharusnya tercantum justru tidak tercantum. Direktur Bank Indonesia, Subarjo Joyosumarto, pernah mengatakan bahwa sampai saat ini jumlah orang yang termasuk dalam DOT lebih dari 1.000 orang. Namun, Bank Indonesia tetap tidak mengumumkan DOT?anehnya, sebuah majalah bisa mempublikasikan nama-nama dalam DOT?kendati masyarakat ingin mengetahui isinya. Pada situasi sekarang, pernyataan yang mengandung teka-teki seperti itu sangat berbahaya dan dapat mencelakakan. Akibatnya, kini berkembang desas-desus yang memojokkan orang-orang tertentu dengan memanfaatkan pernyataan teka-teki tersebut. Untuk menghindari dampak yang bisa merugikan, otoritas moneter lebih baik mencurahkan energinya untuk membuat daftar orang yang (dicurigai) tercela di dalam tubuh birokrasi dan kalangan pengelola bank, lalu daftar tersebut diproses secara hukum. Tindakan kongkret seperti itulah yang sangat didambakan masyarakat, bukan yang ragu-ragu, penuh teka-teki, dan tidak ada realisasinya sama sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus