Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Membagi Pekerjaan, Bukan Wewenang

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagir Manan *)
*) Guru besar Fakultas Hukum Unpad
*) Rektor Unisba

HUBUNGAN wewenang atau hubungan pekerjaan antara presiden dan wakil presiden bukan hanya masalah di Indonesia. Amerika Serikat mengalami hal serupa. Hal ini terjadi karena baik UUD Amerika Serikat maupun UUD RI (UUD 1945) tidak mengatur hal tersebut. Satusatunya kedudukan konstitusional Wakil Presiden Amerika Serikat adalah mengetuai Sidang Senat—tanpa hak suara, kecuali jumlah suara terbagi dalam jumlah yang sama. Dalam pemeriksaan impeachment, Senat dipimpin langsung Ketua Mahkamah Agung.

Kondisi ini menimbulkan sebuah lelucon. Sebuah keluarga Amerika dianggap kehilangan putra kalau sang putra melakukan dua pekerjaan: menjadi angkatan laut (karena berlayar terus) atau menjadi wakil presiden (karena tidak ada peran yang pasti).

Indonesia dan Amerika Serikat samasama menjalankan sistem eksekutif tunggal (single executive). Seluruh kekuasaan eksekutif hanya ada pada presiden. Pengertian ini diberi makna begitu ekstrem dalam Penjelasan UUD 1945 dengan menyebutkan, "Concentration of power and responsibility upon the President." Secara tidak langsung, penjelasan ini menjadi pembenar sistem kekuasaan otoriter di masa Orde Lama dan Orde Baru.

Wakil presiden, menteri, atau pejabat eksekutif lainnya pada dasarnya "hanya membantu presiden." Presidenlah yang menentukan wewenang, tugas, atau pekerjaan yang dapat dilimpahkan atau dikerjakan wakil presiden. Dalam UUD 1945, sifat "membantu" ditegaskan dengan menyebut "Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden" dan "Presiden dibantu oleh menterimenteri negara" (ketentuan ini dicabut oleh Perubahan Pertama UUD 1945 pada 1999 lalu).

Selanjutnya, dalam praktek ketatanegaraan RI, dikembangkan pula konsep yang membedakan kedudukan presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan, bahkan ditambah pula dengan mandataris. Pembagianpembagian ini bukan sekadar formalitas, melainkan berkembang ke arah sistem pertanggungjawaban. Sebagai kepala negara, lebihlebih sebagai mandataris, hal itu berkembang ke arah "Presiden tidak dapat diganggu gugat."

Perbedaan semacam ini tidak diperlukan dalam sistem eksekutif tunggal atau sistem pemerintahan presidensial. Almarhum Prof. Hamid Attamimi secara "jenaka" bisa melukiskan perbedaan tersebut. Pada hari ini, Presiden RI sebagai kepala pemerintahan sedang menghadiri pertemuan dengan kepala pemerintahan Singapura dan Malaysia (di Singapura dan Malaysia, kepala pemerintahan adalah perdana menteri), sedangkan Presiden RI sebagai kepala negara tetap berada di Jakarta—sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Karena itu, membedakan secara hukum antara kepala negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensial, selain tidak berguna, juga dapat menimbulkan kerancuan.

Walaupun telah acap kali diingatkan-termasuk dengan sindiran halus almarhum Prof. Hamid-praktek yang membedakan antara kepala negara dan kepala pemerintahan berjalan terus. Berbagai undangundang yang mengatur wewenang presiden mengangkat atau meresmikan pejabat negara diberi embelembel "presiden sebagai kepala negara." Yang lebih "menghebohkan" adalah pada saat ada kehendak "memfungsikan" wakil presiden. Keluarlah keinginan untuk menetapkan "presiden sebagai kepala negara" dan "wakil presiden sebagai kepala pemerintahan." Ada beberapa skenario yang akan dicapai dari gagasan tersebut. Selain untuk memfungsikan wakil presiden, itu juga sebagai upaya membatasi kekuasaan presiden. Dengan membatasi kekuasaan presiden, diharapkan masalah yang sedang dihadapi dapat dipecahkan secara lebih terarah dan efisien.

Praktek pembagian kedudukan, tugas, dan wewenang semacam itu pernah terjadi di masa revolusi. Pada waktu itu, Presiden Sukarno menunjuk Wakil Presiden Hatta memimpin pemerintahan presidensial—lazim disebut "pemerintahan presidensial Hatta." Tapi hal semacam ini tidak dapat serta-merta dijadikan acuan. Alasannya, pertama, RI sedang dalam masa revolusi. Keadaan sangat tidak normal. Di satu pihak, sistem parlementer akibat Maklumat Wakil Presiden Nomor X (3-10-1945) ternyata melahirkan pemerintahan yang tidak stabil. Di pihak lain, RI menghadapi perang melawan Belanda. Untuk menghadapi kenyataan semacam itu, dibutuhkan pemerintahan yang kuat dan dapat diterima semua kekuatan politik yang ada. Hanya Hatta yang dianggap memenuhi syarat tersebut. Kedua, hubungan antara Sukarno dan Hatta bukan sekadar hubungan antara presiden dan wakil presiden, melainkan hubungan "dwi-tunggal". Salah satu isi dwi-tunggal adalah saling mendukung tindakan atau keputusan yang ditetapkan Sukarno atau Hatta.

Satu hal yang tidak dapat dimungkiri, baik sistem parlementer ala Maklumat Wakil Presiden Nomor X maupun ala kabinet presidensial Hatta (wakil presiden) merupakan penyimpangan terhadap sistem UUD 1945. Hal yang sama (bertentangan dengan sistem UUD 1945) apabila sekarang presiden ditempatkan sematamata sebagai kepala negara dan wakil presiden sebagai kepala pemerintahan. Lebihlebih, pada saat ini, tidak ada keadaankeadaan khusus seperti yang terjadi pada kabinet Hatta (19481949). Negara dalam keadaan normal, walaupun sedang menghadapi berbagai kesulitan. Selain berbeda partai, presiden dan wakil presiden tidak memiliki satu ikatan kesejarahan yang menyamai ikatan SukarnoHatta.

Kalau demikian, mungkinkah wakil presiden melaksanakan fungsi memimpin penyelenggaraan pemerintahan? Sangat mungkin, tapi bukan mengubah kedudukan presiden. Presiden tetap presiden yang sekaligus menjalankan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Wakil presiden membantu presiden memimpin penyelenggaraan pemerintahan. Seluruh tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan eksekutif-di bidang kepala negara dan kepala pemerintahan-tetap ada pada presiden. Tapi, karena kenyataan, wakil presiden yang menjalankan pemerintahan, layaklah kalau wakil presiden ikut mempertanggungjawabkan pekerjaannya. Wakil presiden harus bertanggung jawab di hadapan MPR. Dengan cara ini, sekaligus diciptakan mekanisme pertanggungjawaban wakil presiden kepada MPR. Hubungan ini dalam rangka pembagian pekerjaan, bukan pembagian wewenang. Lebih tidak mungkin kalau ada keinginan mengalihkan wewenang pemerintahan kepada wakil presiden, kecuali dilakukan dengan mengubah UUD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum