Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjahrir *)
*) Pengamat ekonomi
DALAM resepsi ulang tahun kemerdekaan sebuah negara, para hadirin tampak sibuk membicarakan dan berspekulasi tentang pidato Presiden Gus Dur menjawab anggota MPR yang akhirnya melahirkan keputusan Presiden untuk menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari kepada Wakil Presiden. Tiba-tiba seorang wanita menarik saya dan menanyakan dengan sungguh-sungguh apa yang harus ia lakukan dengan dolar AS yang dimilikinya, dijual ataukah ditahan terus. Apa yang terjadi sungguh menarik. Sebab, di tengah-tengah sidang tahunan yang menunjukkan ramainya para elite politik berinteraksi, kurs rupiah terhadap dolar AS tetap menjadi bagian strategis dalam pembicaraan publik. Memang, kurs rupiah akhir-akhir ini membaik secara cukup berarti, dari US$ 1 yang mencapai Rp 9.600 menjadi Rp 8.350 pada 10 Agustus lalu. Namun, bila dibandingkan dengan kurs di negara-negara tetangga, baik yang anggota IMF Club maupun yang bukan, rupiah masih amat terpuruk. Bilamana pada Juli 1997, ketika krisis mulai berlangsung, rupiah mencapai Rp 2.599 untuk US$ 1, depresiasi rupiah sampai dengan 10 Agustus 2000 mencapai 221 persen. Ini jauh lebih parah dari negara-negara tetangga di Asia yang dibantu IMF, yaitu Korea Selatan (won), yang terdepresiasi 25 persen, dan Thailand (baht), yang terdepresiasi 28,5 persen. Negara-negara tetangga lain di ASEAN juga mengalami depresiasi yang jauh lebih rendah dari kita, seperti Singapura (S$), yang terdepresiasi 17 persen, serta Malaysia (ringgit), yang menggunakan currency control sejak 1998, yang terdepresiasi 44 persen. Dengan menghitung efek inflasinya, jelas sekali bahwa kemerosotan nilai tukar kita amat besar, sehingga menghancurkan berbagai macam indikator ekonomi positif lain yang sesungguhnya terjadi di Indonesia, seperti inflasi yang nyaris mendekati 0 persen pada 1999 dan yang mencapai 4,2 persen pada tujuh bulan pertama tahun 2000. Meskipun ada kekhawatiran besar tentang imported inflation, hampir semua kalangan ekonom percaya bahwa inflansi berada di bawah double digit pada tahun 2000. Jadi, kenapa kita tetap khawatir tentang kurs rupiah kita? Dan kenapa kekhawatiran itu meluas kepada publik yang lebih beragam? Jelas jawabannya adalah politik. Bilamana faktor obyektif sama sekali tidak bisa menjelaskan kondisi melemahnya rupiah, subyektivisme politiklah yang mampu membuat keadaan seburuk sekarang, setidaknya dari sisi nilai tukar. Maka, gema currency control semakin menguat. Dan kita tahu betapa peran seorang Paul Krugman dianggap begitu besar di Asia. Kita tahu bahwa hanya dua hari setelah Krugman dalam sebuah seminar menganjurkan currency control, Malaysia kemudian benar-benar melaksanakannya! Tapi harus diingat bahwa dalam ilmu ekonomi berlaku adagium post hoc sed non propter hoc, yang artinya "sesudah itu tapi bukan karena itu." Paling tidak, faktor kemarahan seorang Mahathir Mohamad terhadap spekulan mata uang merupakan faktor penting pula dalam keputusan pemerintah Malaysia untuk melaksanakan currency control, hal yang kini dinilai sebagian kalangan sebagai kebijakan yang tepat yang menyebabkan Malaysia bisa keluar dari krisis dan mulai menggenjot pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia sendiri, anggota MPR Fuad Bawazier dari Fraksi Reformasi dengan gigih menawarkan ide CBS yang dimotori oleh Steve Hanke dan dicoba dilaksanakan di masa Soeharto agar Indonesia dapat keluar dari krisis nilai tukar mata uang (foreign exchange crisis). Bahkan, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie, yang kini mengundurkan diri, cenderung setuju dengan sistem exchange control. Pertanyaan sederhana kepada usulan CBS atau exchange control adalah pada kurs berapa nilai tukar itu ditetapkan dan apa alasannya kurs tersebut digunakan. Betul ada sikap yang arbitrary, yang tidak bisa dihindarkan, tapi atas dasar apa kita yakin bahwa dengan menetapkan kurs, katakan Rp 6.000 untuk US$ 1, kita akan terbebas dari krisis nilai tukar? Persyaratan-persyaratan yang dikemukakan Steve Hanke untuk membentuk CBS, bila dihadapkan pada problem Indonesia, yang merupakan negara kepulauan dengan penduduk 207 juta orang, yang compang-camping, dengan utang sebesar 146 persen dari GDP, dan yang menghadapi masalah pinjaman dengan IMF dan Bank Dunia, merupakan persyaratan yang sulit dipenuhi, betapapun sederhana kedengarannya. Lebih mendalam lagi, sikap korup yang amat mengakar dari seluruh aparatur birokrasi akan tidak memungkinkan berlangsungnya sistem yang membutuhkan kejujuran dan konsistensi dalam penerapannya. Dalam literatur ekonomi, memang terjadi berbagai benturan dan diskusi tentang nilai tukar yang ideal, apakah sistem mengambang bebas atau sistem mengambang terkendali yang akan digunakan. Begitu juga apa yang disebut dengan sistem currency control yang terbatas, seperti masuknya kapital yang dibatasi (disebut pola Cile) atau keluarnya kapital yang dilarang (pola Malaysia). Tapi jelas juga bahwa literatur-literatur tersebut sama sekali tidak memberikan argumentasi yang sepenuhnya ketat. Ketika Krugman menyampaikan idenya, saya berada persis di sebelah dia di Singapura. Dari ekspresinya jelas bahwa dia bukan orang yang secara ketat dan meyakinkan menyampaikan pandangan tersebut. Sebelum seminar, pikirannya telah dilontarkannya di majalah Fortune. Dan meskipun saya tidak sepakat, harus diakui usulan tersebut cukup memiliki appeal. Sayangnya, ketika dikejar untuk menguraikan alasan-alasannya, dan ketika diminta pula untuk memahami perbedaan factor endowment yang berbeda antarnegara, penjelasannya tidak cukup kental. Dengan perkataan lain, setidaknya para hadirin yang ada dalam seminar di Singapura tidak diyakini oleh argumentasinya. Paul Krugman akan kembali muncul di Indonesia pada 29 Agustus 2000, diundang oleh penyelenggara seminar, Strategic Intelligence Indonesia, Majalah TEMPO, dan Sucofindo. Pada pertemuan nanti, dia pasti akan ditanya dan menyampaikan pandangannya tentang currency control, apakah masih relevan untuk mengatasi masalah Indonesia. Saya kira amat sulit bagi dia untuk melanjutkan argumen currency control di Indonesia sekarang, kendati kita masih mengalami nilai rupiah yang begitu lemah. Apa yang dicapai pemerintah Indonesia dan sidang MPR yang seakan-akan meningkatkan legitimasi pemerintahan eksekutif dengan munculnya dwitunggal Gus Dur dan Megawati sebagai kepala pemerintahan seyogianya disikapi secara positif. Apa pun kekhawatiran yang muncul tentang besarnya peranan partai dalam kabinet, yang kabarnya akan dibentuk minggu ini, jelas bahwa kekhawatiran akan disintegrasi bangsa semakin berkurang dan tanda-tanda dini di pasar mulai menunjukkan sesuatu yang setidak-tidaknya tidak negatif. Sebab, menyebut reaksi pasar itu positif barangkali masih merupakan pendapat yang tergesa-gesa. Reservasi pasar terhadap tingkah laku politik para elite politik, termasuk para elite di dalam partai-partai politik, masihlah amat besarnya. Sementara itu, kasus korupsi seperti di Bulog, yang relatif lebih kecil, dan di yayasan Kostrad, yang relatif lebih besar, tetap menggantung. Sedangkan untuk kasus-kasus korupsi yang jumlahnya maharaksasa di masa orde Soeharto, belum juga tampak upaya pembongkaran yang serius dari pihak Kejaksaan Agung. Saya ingin mengajukan usulan serius untuk kasus korupsi, yaitu kasus BPPC. Dengan kasus itu, kita bisa menyeret bukan saja putra mantan presiden Soeharto, melainkan juga para pejabat tinggi yang beramai-ramai membubuhkan tanda tangan, sementara mereka tahu itu semua hanyalah untuk memperkaya sang putra. Sengaja uraian tentang korupsi ini dibuat karena begitu banyak kasus yang beredar kini merupakan hal yang amat mempengaruhi kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia dan secara khusus tecermin pada nilai tukar rupiah. Apa pun yang akan dikatakan Krugman nanti, apa pun yang dihasilkan sidang umum tahunan MPR, bilamana tingkah laku elite politik tidak berubah dan hanya mementingkan partai atau diri mereka, sulit bagi kita untuk bersikap optimistis. Apalagi budaya korupsi yang mendarah daging tidaklah berkurang, bahkan meningkat, dalam era yang katanya merupakan era reformasi. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |