Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
R. William Liddle *)
*) Profesor ilmu politik The Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat
DI INDONESIA, pertarungan politik di tingkat nasional masih sangat diwarnai oleh konflik agama. Setidaknya begitulah kesimpulan saya setelah mengikuti proses tumbangnya Orde Baru dan bangkitnya Orde Reformasi, sejak awal krisis nasional pada pertengahan 1997 sampai pemilihan Abdurrahman Wahid sebagai presiden pada Oktober 1999. Chinua Achebe, novelis Nigeria ternama, pernah bilang lewat salah satu tokohnya yang mewakili filsafat desa tradisional bahwa keunggulan orang tua hanya satu: mereka bisa mengingat banyak. Saya tidak berpretensi bahwa saya bisa berbicara sebagai sesepuh desa tradisional di Indonesia. Tapi saya masih ingat hal-hal yang saya saksikan hampir 40 tahun lalu di Kabupaten Simalungun dan ibu kotanya, Pematangsiantar, Sumatra Utara, ketika saya melakukan penelitian di sana untuk disertasi saya. Topik saya, diilhami oleh penelitian Clifford Geertz di Jawa beberapa tahun sebelumnya, adalah hubungan antara partai politik di tingkat lokal dan tingkat nasional. Di Pare, Jawa Timur, Geertz menemukan penggolongan masyarakat setempat berdasarkan perbedaan agama dan budaya: priayi, abangan, santri modernis, dan santri tradisionalis. Tiap-tiap golongan itusetidaknya sebagian besar anggotanyaberafiliasi dengan salah satu "aliran", yaitu partai politik nasional dan onderbouw-onderbouw-nya: priayi dengan PNI, abangan dengan PKI, santri modernis dengan Masyumi, dan santri tradisionalis dengan NU. Di Simalungun dan Siantar, saya menerapkan pendekatan Geertz dan saya menemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dan kelompok agama, budaya, dan etnis yang kira-kira serupa dengan penemuan dia. Ternyata, pada waktu itu, rakyat Indonesia sangat mendambakan partai-partai yang akan mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Saya lalu menyimpulkan bahwa setiap usaha dari atas untuk memaksakan sistem lain, seperti yang dilakukan selama Orde Baru oleh Presiden Soeharto melalui Golkar, akan gagal. Sebab, kalau tangan besi ABRI dan birokrasi kemudian dilepaskan, perilaku lama pasti akan muncul kembali. Dengan latar belakang itu, saya tidak terkejut ketika aliran-aliran lama muncul kembali, tentu sebagian dalam kemasan baru, menjelang Pemilu 1999, atau bahwa semua partai besar pemenang pemilu, meskipun kadang-kadang secara agak samar, masih bersifat primordial. PDI-P mewakili abangan dan pemilih non-Islam, Golkar mewakili Islam modernis, khususnya di luar Jawa, dan PKB adalah partai Islam tradisionalis. PPP sekaligus merangkul kaum modernis dan tradisionalis, sementara PAN, PBB, dan PK bersaing untuk meraih suara-suara modernis. Yang mengejutkan, dan sesudah itu membuat saya bersikap prihatin sampai sekarang, adalah intensitas emosi politik berdasarkan penggolongan agama tersebut. Status saya sebagai sesepuh dari Columbus, Ohio, tampaknya tidak cukup mempersiapkan saya untuk mengerti betapa dalamnya sikap kecemasan dan kecurigaan yang dirasakan oleh kebanyakan pemimpin partai setelah Pemilu dan sebelum Sidang Umum MPR 1999. Para politisi seakan-akan membagikan diri mereka ke dalam dua kelompok besar, Islam dan non-Islam. Orang Islam takut bahwa mereka "akan ditindas lagi seperti pada zaman Benny Moerdani berkuasa," yaitu pada 1980-an. Orang non-Islam khawatir bahwa mereka "akan menjadi warga negara kelas dua" dalam negara Islam gaya Masyumi 1950-an yang bakal didirikan partai-partai Islam. Saya sendiri tidak melihat ancaman-ancaman itu sebagai sesuatu yang serius, tapi harus saya akui bahwa hampir semua orang partai yang saya wawancarai pada waktu itu betul-betul merasakannya. Kesadaran saya tentang keretakan yang tajam ini sangat mempengaruhi sikap saya tentang usul pemilihan presiden langsung yang kini diperdebatkan di Indonesia. Sebab, saya ingat bahwa konflik Islam dan non-Islam yang menghangat tahun lalu hanya reda setelah Gus Dur dipilih sebagai presiden melalui prosedur lama, yaitu pemilihan yang tidak langsung oleh anggota-anggota MPR. Gus Dur berasal dari kubu Islam tradisionalis, tapi sebagai pribadi dia bisa menjembatani dua seteru yang berlawanan. Dia membuktikan hal ini ketika dia meminta Megawati Sukarnoputri menjadi wakil presidennya. Apa yang akan terjadi tahun lalu kalau presiden dipilih secara langsung? Tentu kita tidak bisa tahu dengan pasti, tapi saya membayangkan dua kemungkinan terbesar. Pertama, setiap partai besar akan mengajukan calonnya sendiri, dengan hasil bahwa presiden terpilih tidak akan mendapat mayoritas mutlak, misalnya Megawati akan menang dengan 34 persen dari semua suara. Kedua, beberapa partai Islam akan bergabung untuk melawan Megawati dan kelompok non-Islam yang dipimpinnya, dengan harapan suara gabungan mereka melebihi jumlah suara yang diberikan kepada Mega. Menurut pendapat saya, kedua kemungkinan ini akan berdampak buruk pada stabilitas politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kalau Megawati menjadi presiden tanpa dukungan dari mayoritas pemilih, pilihannya akan dianggap tidak sah, khususnya oleh kubu Islam. Selanjutnya, legitimasi lembaga demokrasi yang membawa hasil itu akan dipertanyakan. Dalam kemungkinan kedua, yaitu pertarungan langsung antara Megawati dan seorang jago dari partai-partai Islam, konflik seru dan berdarah antara massa Islam dan non-Islam tak terhindarkan. Dengan sendirinya, hasilnya adalah instabilitas politik, barangkali dengan banyak kasus seperti Maluku dan Maluku Utara tersebar di seluruh Nusantara. Akhirulkata, saya ingin mengutip Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada 16 Agustus lalu: "Kecanggihan kita dalam membangun demokrasi akan menentukan bukan saja kualitas demokrasi itu sendiri, tetapi juga kelangsungan hidupnya." Bagi saya, dalam hal pemilihan presiden, kebijakan yang canggih adalah mempertahankan sistem pemilihan tidak langsung melalui sidang umum MPR, setidak-tidaknya untuk satu atau dua masa jabatan lagi. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO Pendapat Editorial Cari Angin Marginalia Bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |