Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin lebih jelas bahwa ada dugaan korupsi di balik penangkapan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah karena menyuap staf Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan pemeriksaan investigatif yang disampaikan ke DPR Jumat pekan lalu oleh Ketua BPK menunjukkan beberapa indikasi penyimpangan yang ditemukan dalam pengadaan logistik untuk pemilu legislatif. Sekarang soalnya tinggal mencari pembuktiannya, dan itu tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyimpangan, dalam kosakata BPK, adalah semua hal yang dilakukan di luar standar cara penggunaan anggaran negara yang bertanggung jawab. Meskipun pemeriksaan belum meliputi pemilu presiden, kerugian negara yang dilaporkan cukup besar, sekitar Rp 90 miliar. Kira-kira 11 persen dari dana logistik pemilu legislatif sejumlah Rp 800 miliar. Dalam pengadaan kotak suara ada penyimpangan Rp 66 miliar, pencetakan surat suara Rp 12,6 miliar, pembelian tinta sidik jari Rp 3,4 miliar, sampul surat suara Rp 7 miliar, untuk barang dan jasa teknologi informasi Rp 154 juta.
Kita harus berhati-hati ketika menafsirkan laporan audit BPK, karena jumlah penyimpangan yang disebut belum tentu semuanya termasuk kategori korupsi. Namun kecenderungan untuk terkesan ke arah itu sukar dielakkan. Apalagi kalau di ujungnya terjadi peristiwa penyuapan. Mudah menarik kesimpulan cepat, berapa kira-kira yang tergolong perbuatan terlarang yang akan ditutupi, jika transaksi uang suap saja berjumlah Rp 300 juta. Sekali lagi, ini baru berupa kemungkinan belaka. Setiap lembaga yang diperiksa BPK punya hak jawab agar gambaran yang didapat jadi lengkap dan adil. Ketika laporan audit BPK diserahkan, KPU masih belum memakai haknya untuk memberikan tanggapan balik secara resmi.
Sementara ini pihak KPU, termasuk Mulyana, baru meminta agar asas praduga tak bersalah dihormati. Anggota perorangan dan lembaga KPU mestinya tidak jadi korban pengadilan masyarakat atau trial by the press. Permintaan ini wajar dan harus dihargai. Karena itu kita mendesak agar KPK tidak berhenti sebatas kasus penyuapan oleh Mulyana, tapi segera membongkar tindak pidana korupsi yang jadi masalah pokok sebenarnya. Maklumlah, masyarakat telanjur punya prasangka bahwa di balik penggunaan anggaran negara yang besar, pasti ada penyimpangan dan kebocoran. Sudah jadi semacam aksioma, yang dianggap benar tanpa perlu dibuktikan.
Walau tidak mudah, setiap prasangka memang harus diluruskan. Hanya, belum tentu semua prasangka itu bengkok. Barangkali inilah bagian yang paling sulit dari tugas KPK. Kesukarannya terletak pada pembuktian, dan memisahkan siapa yang bersalah, ikut bersalah, dan siapa yang bersih. Karena dana yang dianggarkan amat besar, orang serta-merta berprasangka bahwa semua anggota KPU pasti terlibat. Seluruh anggaran yang dikelola KPU untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden berjumlah sekitar Rp 3,5 triliun.
Audit investigasi yang dilaporkan BPK baru satu bagian yang meliputi penggunaan Rp 800 miliar, kurang dari seperempat anggaran secara keseluruhan. Dari situ saja sudah ditemukan penyimpangan dalam lima bidang logistik: pengadaan kotak suara, pencetakan surat suara, tinta sidik jari, barang dan jasa teknologi informasi, dan sampul surat suara. Manipulasi dan teknik penyelewengan bermacam-macam, mulai dari konspirasi dalam prakualifikasi proses tender, kualitas barang, menaikkan harga, hingga perhitungan ganda komponen biaya.
Dalam laporan BPK juga disebut inisial nama-nama yang terlibat atau dianggap bertanggung jawab. Hampir semua inisial nama anggota KPUtujuh dari sembilan yang adaikut dicantumkan. Jika segala jenis penyimpangan sudah dilakukan, hampir semua nama dilibatkan, padahal baru mengenai penggunaan seperempat dari anggaran, bagaimana kiranya hasil pemeriksaan penggunaan seluruh anggaran nanti? Salahkah bila orang membuat perkiraan "matematis" bahwa sesungguhnya penyimpangan yang ditemukan akan jauh lebih banyak dan semua anggota KPU pada akhirnya harus ikut bertanggung jawab?
Walaupun KPU tidak bisa disamakan dengan korporasi, bukankah keputusan diambil secara kolektif atau setidak-tidaknya harus diketahui bersama? Satu untuk semua, dan semua untuk satu, begitu barangkali semboyan bagi lembaga KPU dalam kasus ini. KPK harus bisa memecahkan persoalan ini, bukan untuk melayani prasangka, tapi untuk menyambut ekspektasi masyarakat tentang pemberantasan korupsi.
Meminjam istilah "indikasi penyimpangan" dalam kualifikasi BPK, boleh dikatakan cukup ada "indikasi" perbuatan menyimpang dalam pengadaan logistik pemilu adalah tanggung jawab kolektif semua anggota KPU. Tapi penyimpangan dalam temuan BPK, sekali lagi perlu diingatkan, bukan otomatis berarti pasti dikorupsi. Maka, dalam urusan kegiatan pencurian uang negara ini, pertanggungjawaban tetap bersifat pribadi. Hanya mereka yang terbukti berbuat yang patut dijerat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo