Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

Bohorok: Lebih dari Musibah

Kawasan ekowisata itu lenyap dalam semalam. Perlu membentuk komisi independen dan mengkaji ulang Ladia Galaska.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Bohorok: Lebih dari Musibah
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADALAH pada suatu masa, ketika dongeng sebelum tidur anak-anak Sumatera Utara menghikayatkan ranah Bohorok, hutan lindap di celah bumi, berhiaskan pelangi riam jeram, tempat gajah badak dan siamang bercengkerama, tempat awan berkaca di batang air, tempat peri dan humbalang menanam bunga jutaan warna.... Dongeng itu sudah lama raib. Sejak Ahad malam dua pekan lalu, Bohorok menjelma sebuah nama yang tak lagi enak disimpan di hati. Musibah biasanya merujuk pada sesuatu yang tak bisa dihindari, sesuatu yang pada hakikatnya "bukan berasal dari dunia" ini, dan karena itu harus diterima sebagai "cobaan". Sifatnya yang ketakdir-takdiran itu pula membuat musibah nyaris tak bisa ditolak, karena sesungguhnyalah dalam musibah manusia mendapat kesempatan untuk "diuji". Yang terjadi di Bohorok, Ahad malam dua pekan lalu itu, sesungguhnyalah lebih dari sekadar musibah. Terhampar di seputar Taman Nasional Gunung Leuser, kawasan wisata terpadu Sungai Bohorok dan Bukit Lawang dibangun berdasarkan semangat pemerintah daerah setempat mengembangkan potensi ekonomi, termasuk memanfaatkan hutan lindung dan taman nasional sebagai kawasan wisata. Hasilnya menakjubkan. Dalam tempo relatif singkat, ratusan kios dan puluhan rumah penginapan berdiri di sepanjang tepian Sungai Bohorok. Rombongan wisatawan datang silih berganti, lapangan pekerjaan baru yang terkait dengan industri pariwisata terbuka bagi penduduk lokal. Kawasan Ekosistem Leuser, yang seluruhnya meliputi sekitar 2,6 juta hektare itu, ternyata juga merupakan daya tarik luar biasa bagi para pencuri kayu. Berdasarkan pemantauan Bupati Langkat, hutan yang dirampok para penjarah itu sudah mencapai 42 ribu hektare. Jumlah realistisnya tentu jauh lebih luas. Bupati, katanya, sudah mengadukan hal itu kepada "instansi terkait". Yang tak jelas buat kita, siapa gerangan "instansi terkait" itu—dan sampai di mana kesaktiannya. Ada hal karikatural dari potret banjir Bohorok. Batang-batang kayu yang menyerbu dari hulu itu bukanlah berasal dari kayu tumbang, melainkan kayu tebangan yang bahkan sudah terukur panjang batangnya. Artinya, bila tak ada banjir pun, kayu-kayu itu tetap diturunkan lewat Sungai Bohorok, malah setengah dipertontonkan kepada para wisatawan yang bersantai di kedua tepian sungai. Pencurian kayu di Kawasan Ekosistem Leuser sesungguhnyalah dilakukan sistematis. Kemudian tersebutlah proyek jalan tembus Lautan Hindia-Gayo Alas-Selat Malaka, yang diakronimkan sebagai "Ladia Galaska". Banjir Bohorok, menurut beberapa petinggi kita, tak ada hubungannya dengan Ladia Galaska. Alasannya, antara lain, lokasi banjir itu jauh nian dari si Ladia. Ini jadinya mirip debat kusir. Misalkan panjang Ladia Galaska mencapai 500 kilometer, dengan lebar jalan enam meter saja, sudah berapa hektare kawasan ekosistem Leuser yang berkurang? Para petinggi sudah mengumbar janji. Di antaranya, yang paling klise: para pencuri kayu dan perusak lingkungan itu akan ditindak, bahkan akan ditindak keras. Sulit dibayangkan masih ada yang percaya pada janji seperti ini. Kalau memang mau bertindak, bukankah tak perlu menunggu hingga penebangan liar mencapai 42 ribu hektare? Bukankah jauh sebelum Ahad malam dua pekan lalu itu, berbatang-batang kayu tebangan liar turun dari hulu menyusuri Sungai Bohorok dengan amannya? Penanganan pascabencana juga tak kurang menakjubkannya. Penjarahan terjadi di lokasi bencana, justru di dalam areal yang sudah dipagari garis polisi! Yang dijarah pun bukan sekadar sandal atau periuk yang mudah disembunyikan, melainkan brankas penginapan. Sulit sekali membayangkan penduduk, yang masih sibuk mencari sanak saudara yang hilang dan harta benda yang tumpas, sempat-sempatnya menerobos garis polisi dengan niat mencuri. Bohorok tak bisa dipandang sebagai sekadar musibah. Pemerintah harus melakukan investigasi yang ketat terhadap banjir bandang yang menewaskan lebih dari seratus korban ini—beberapa di antaranya warga negara asing—dengan tuntas dan terbuka. Tampaknya perlu membentuk sebuah komisi independen yang dijamin hak operasionalnya, bahkan mengkaji ulang proyek Ladia Galaska yang kontroversial itu. Kalau tidak, pemerintah harus bersiap-siap menghadapi "Bohorok-Bohorok" berikutnya di masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus