Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Memorial

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fadjar I. Thufail Kandidat doktor di Departemen Antropologi Universitas Wisconsin-Madison SEPEDA itu tertambat di sebuah tiang lampu. Warnanya kusam. Debu menempel di seluruh permukaannya. Setangkai bunga layu dan kering terikat di tiang itu, dan di bawahnya, sebuah karton lapuk tergantung. Di karton itu dicoretkan, "In the memory of the delivery boys who died?." Tulisan tangan ini tak beraturan. Barangkali tak seorang pun akan berpikir bahwa memorial dapat berbentuk sebuah sepeda. Sebuah memorial biasanya dibuat dengan agung untuk mencerminkan kebesaran sebuah peristiwa. Atau sebaliknya, dibuat secara sederhana. Veteran Memorial Monument di Washington, DC, atau Topography of Terror di Berlin, misalnya, adalah contoh representasi yang mengajak kita merenungkan kembali arti pengalaman perang. Perang adalah kehilangan, dan kehilangan menuntut kesederhanaan representasi. Sepeda kusam yang tertambat di tiang lampu itu seolah-olah membongkar keyakinan kita bahwa kekerasan dan keheningan adalah dua hal yang selalu harus dipisahkan. Saat kekerasan berakhir, keheningan menjadi syarat mutlak untuk menampilkan kembali pengalaman itu. Sementara itu, bila kekerasan sedang berlangsung, perenungan seolah-olah menjadi pengalaman yang tak masuk akal. Tetapi, sepeda di tiang itu memperlihatkan bahwa memorial bukanlah sekadar sebuah undangan untuk membaca pengalaman yang telah jadi; ia bukan sebuah simbol. Memorial menawarkan sebuah tanda, sebuah cara membaca pengalaman; ia adalah signpost. Sepeda kusam dan tulisan di karton itu menjadi tanda mencolok di tengah lalu-lalang peziarah dan turis di pinggiran Broadway, dua blok dari reruntuhan gedung World Trade Center. Tak sedikit orang yang berhenti dan berusaha memahami apa makna karton kumal itu dalam skenario perang melawan "terorisme". Di sisi lain trotoar itu, ribuan kertas karton, kain, karangan bunga, dan bendera Amerika menempel tak beraturan di tembok kayu. Semuanya berisikan pujian kepada para sukarelawan penolong, korban yang tewas atau hilang, dan doa untuk negara yang sedang mengalami peristiwa luar biasa ini. Saat kolom ini ditulis, The New York Times melaporkan 2.870 orang meninggal dan hilang di World Trade Center. Hampir setiap hari sejak tragedi 11 September 2001, harian itu memuat catatan kenangan korban-korban yang tewas di Ground Zero?demikian tempat ini disebut setelah tragedi September. The New York Times dan deretan tembok kayu di tepi Broadway itu menjadi saksi bahwa kata-kata dapat membangkitkan kembali ingatan tentang peristiwa dan kehidupan seseorang. Walter Benyamin mengingatkan bahwa kata-kata memiliki kekuatan penebus, sama halnya dengan sebuah memorial. Keduanya menyimpan kenangan masa lalu, sekaligus harapan akan masa depan. Kata-kata dan memorial menyimpan reruntuhan peristiwa sejarah, dan tugas kemanusiaan kita adalah menyusun kembali reruntuhan itu dalam bayangan kita, dengan demikian menyelamatkan masa lalu serta masa depan dari tirani masa kini. Kritik sejarah, demikian Benyamin, harus menatap dalam tirani masa kini untuk menemukan secercah sinar yang memancar dari ratusan, bahkan ribuan, fragmen masa lalu. Kilatan sinar itu memberikan inspirasi kepada sebuah bentuk kritik sejarah yang humanis, sebuah bentuk penebusan sejarah yang terbebas dari kungkungan dan memorialisasi tradisi, ideologi, dan kebenaran masa kini. Panggilan profetik Walter Benyamin adalah panggilan zaman. Ini adalah kerinduan Benyamin akan kemegahan dan keindahan masa lalu di tengah kenyataan bangkitnya Fasisme Jerman di tahun 1930-an. Tujuh puluh tahun setelah itu, dunia seolah-olah menyaksikan babak baru saat sejarah ditulis kembali sebagai sebuah pernyataan kebenaran, dan tak pelak lagi kebenaran menjadi retorika yang sangat suci. Kali ini yang menjadi saksinya adalah keramaian downtown Manhattan. "Amerika saat ini sedang menjadi fortress America," demikian Goenawan Mohamad memotret Amerika pasca-tragedi September 2001. Di satu sisi, Goenawan jeli mengamati betapa Amerika merasa perlu memamerkan segala kekuatannya; membuktikan kepada dunia bahwa peraturan baru tentang imigrasi dan perang antiteroris adalah unsur penting yang menyangga Amerika sebagai "Fort America". Tetapi, Fort America bukan hanya kenyataan politik; ini kenyataan kultural pula. Memorial di tepi Broadway itu memperlihatkan betapa ingatan dan kenangan tentang Amerika yang heroik telah bersatu dengan kenangan para korban sebagai martir negara, bukan sekadar kenangan sebagai ayah atau ibu atau sahabat mereka yang ditinggalkan. Seandainya Walter Benyamin berdiri di tepi jalan itu, mungkin ia akan terhenyak menyaksikan sepeda kumal itu. Sepeda itu bukanlah memorial untuk seorang martir, melainkan memorial untuk puluhan pengantar makanan, surat, dan barang yang ikut menjadi korban saat pesawat American Airlines menabrak The Twin Towers. Sepeda ini mengingatkan kita pada sebuah kenyataan sehari-hari yang seolah-olah berhadapan secara canggung dengan retorika kepahlawanan Fort America. Muncul dari reruntuhan gedung kembar seperti sebuah kilatan sinar, sepeda kumal itu adalah signpost yang menunjukkan kita pada dunia kaum minoritas di New York. Si pemilik sepeda, dan barangkali puluhan kawan sekerjanya, adalah korban yang tak mudah, dan mungkin tak ingin, diletakkan sebagai martir negara. Dunia kaum minoritas di New York selalu sejajar dengan dunia kelas bawah. Keberadaan mereka di New York menempati sebuah ruang tempat pembicaraan tentang kewarganegaraan menjadi tak penting lagi. Mereka ini adalah potret dari the other America?Amerika yang liyan: Amerika yang hidup bukan dari kesombongan identitas sebagai "the most", melainkan justru dari kepintaran menghindarkan diri dari segala yang berbau resmi dan glamor. Bagi mereka, kewarganegaraan justru menjadi momok yang menakutkan. Masa lalu ataupun masa depan menjadi tak menentu. Mereka terperangkap di antara impian kota yang menawarkan segala kemungkinan, dan kenyataan bahwa keikutsertaan mereka tak sepenuhnya memberikan hak sosial dan politik sebagai warga Kota New York dan warga negara Amerika. Sebagai signpost, sepeda di tepi jalan itu bukan sebuah simbol. Ia tidak memiliki makna suci, bukan bagian dari sebuah konstruksi besar tentang Amerika yang tabah, bersatu, heroik, dan indah. Ia menunjuk pada sebuah fragmen sejarah yang dilupakan oleh narasi Fort America. Sejarah ini adalah sejarah kaum imigran, dunia kelas bawah, bahkan sejarah kecanggungan potret Amerika sebagai sebuah melting pot raksasa. Sepeda ini adalah memorial yang mengingatkan kita bahwa narasi keagungan ataupun tragedi adalah tirani zaman. Sebagai anak zaman, tugas kita adalah menemukan fragmen dan celah-celah dalam narasi itu, celah-celah yang membuka pengetahuan kita terhadap sesuatu yang liyan dan tersembunyi. Signpost menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu itu nyata adanya. God bless differences.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus