Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faisal Basri
Pengamat ekonomi dari UI
PRIVATISASI bukan hal tabu di tanah air kita. Partai yang paling nasionalis sekalipun bersedia memelopori penjualan BUMN tanpa mempersoalkan siapa yang membelinya. Bahkan mereka mempunyai preferensi bahwa kinerja pihak asing lebih baik. Semua presiden setelah Sukarno mengagendakan privatisasi dalam program kabinetnya?dengan latar belakang dan motif berbeda-beda. Jadi, privatisasi tidak lagi ditentang dengan alasan ideologis.
Bersejajaran dengan itu, muncul tekad yang kuat, sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999-2004, yaitu "mengembangkan mekanisme pasar yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar monopolistik dan berbagai struktur pasar yang distortif, yang (pasti, penulis) merugikan masyarakat". Amanat GBHN ini sudah barang tentu berlaku pula bagi BUMN.
Lantas, mengapa dalam perjalanannya program privatisasi semakin mengalami kemunduran, bahkan kerap membuat heboh, sehingga kualitas ataupun dana yang dihimpun kian merosot? Dalam keadaan seperti ini, apakah target privatisasi senilai Rp 6,5 triliun untuk tahun anggaran 2002 bisa dicapai? Seandainya pun tercapai, apakah hasil akhirnya akan optimal bagi perekonomian secara keseluruhan dan memberikan kontribusi berarti bagi pemulihan ekonomi?
Kalau privatisasi semata-mata untuk menambal defisit APBN yang besarnya Rp 43 triliun, agaknya tak akan ada kesulitan berarti?apalagi kalau sekadar asal jual, mengingat kontribusi perolehan privatisasi terhadap pendapatan negara hanya 2,2 persen, sementara se-bagai penambal defisit APBN cuma 9 persen. Kalau saja pemerintah sungguh-sungguh memerangi korupsi dengan fokus pada aparat pajak dan bea cukai saja, jangankan menggantikan target penerimaan privatisasi, menutup seluruh defisit APBN pun bisa dilakukan.
Jadi, kalau privatisasi sekadar untuk menomboki APBN, satu persoalan mungkin selesai, tapi akan menimbulkan sejumlah masalah lainnya yang semakin menggerogoti kredibilitas pemerintah yang kian pudar. Bahkan boleh jadi mood yang sudah sangat mendukung program privatisasi akan sirna seandainya pemerintah gagal mengelola proses privatisasi dengan seksama. Yang bakal terjadi barangkali adalah backlash akibat ulah para politisi yang ingin mendapat kesan sebagai pahlawan di mata rakyat dengan mengembuskan sentimen populisme, nasionalisme, antiasing, dan antineokolonialisme.
Privatisasi ibarat kereta dua-kuda, yang satu (kuda putih) adalah tujuan politik (ini kerap berubah) dan yang satunya lagi (kuda hitam) adalah motif ekonomi (bersifat kaku: efisiensi, harga jual tinggi, sinergi, corporate governance, dan sebagainya). "Kusir"dituntut memiliki kecakapan tersendiri untuk mengharmoniskan langkah kuda sehingga kereta sampai ke tujuan dengan selamat tanpa gangguan. Kalau kuda putih kerap meringkik, kuda hitam?yang sebetulnya mudah dikendalikan?pasti akan ikut-ikutan berulah. Jika pada akhirnya tiap-tiap kuda selalu berontak ke arah yang berlawanan, bisa jadi kereta akan terjungkal bersama sang kusir, apatah lagi berharap kereta akan sampai pada tujuan.
Agar tak bernasib sial seperti kisah rekaan di atas, sepatutnya privatisasi didasarkan pada suatu visi dan misi yang jelas, tujuan dan target yang terfokus, strategi yang jitu, instrumen yang tepat, para penentu yang bijak bestari, pelaksana yang profesional, serta?yang tak kalah pentingnya?dukungan semua stakeholders. Unsur-unsur tersebut tak mutlak harus terpenuhi semua. Yang paling penting adalah kepastian bahwa keberadaan sejumlah unsur itu bisa berkelanjutan dan dengan kriteria yang konsisten.
Kehadiran undang-undang privatisasi sangat dibutuhkan untuk menjamin privatisasi selalu berada pada track yang benar, tidak seperti nasib kereta kencana yang terjungkal. Selain itu, keberadaan undang-undang privatisasi paling tidak bisa menghadirkan tiga prasyarat keberhasilan program privatisasi. Pertama, persyaratan kredibilitas dan akuntabilitas. Tanpa prasyarat ini, privatisasi akan menjadi bulan-bulanan berbagai kelompok kepentingan (vested interest) dan menyuburkan praktek KKN. Hasil dari privatisasi mungkin hanya dalam bentuk pengalihan inefisiensi atau distorsi dari sektor publik ke sektor swasta. Struktur pasar tak akan banyak berubah sehingga tak ada perbaikan dalam iklim persaingan.
Kedua, persyaratan kecepatan (speed) atau quickness. Semakin berbelit-belit, lama, dan bertele-tele, proses privatisasi akan mengundang keterlibatan semakin banyak penunggang percuma (free riders) dan pemburu rente (rent seekers). Calo-calo akan berkeliaran dan para provokator akan menyusup ke kalangan pekerja. Akibatnya, maslahat (benefit) yang dihasilkan akan sangat minimal karena sebagian atau bahkan porsi terbesarnya tercecer di tengah jalan. Contoh nyata terlihat pada kasus BUMN Semen Gresik-Padang-Tonasa.
Karena undang-undang privatisasi juga berisi daftar BUMN yang diprivatisasi selama jangka waktu tertentu (misalnya lima tahun), proses privatisasi bisa lebih cepat dan pasti. Pemerintah tak perlu lagi meminta persetujuan DPR untuk setiap BUMN yang hendak diprivatisasi seperti yang berlangsung selama ini. Maka, tak akan ada lagi tarik-ulur untuk setiap BUMN yang akan dijual. Mengingat ada lebih dari seratus BUMN, masa berlaku undang-undang privat-isasi perlu dibatasi maksimum lima tahun. Setelah itu, bisa dibuat undang-undang privatisasi yang baru.
Ketiga, persyaratan organisasi. Belajar dari pengalaman di luar negeri dan di tanah air kita sendiri dari kehadiran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), undang-undang privatisasi sepatutnya mengamanatkan pembentukan komisi privatisasi (KP). Komisi ini beranggotakan lima orang yang memiliki kredibilitas dan kebijaksanaan tak diragukan lagi. Merekalah yang menetapkan keputusan-keputusan strategis?seperti harga minimum saham, kalau yang ditempuh adalah cara initial public offering (IPO). Mereka memiliki akses yang tak terbatas atas seluruh informasi yang diperoleh dari penasihat keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pe-megang saham ataupun dari perusahaan yang hendak dijual. Peran KP ini semakin penting kalau kredibilitas pemerintah sudah sangat rendah. Jadi, pemerintah sebetulnya memanfaatkan kredibilitas para anggota KP untuk memuluskan proses penjualan BUMN.
Apakah pemikiran di atas rasional dan realistis? Ya, bagi negarawan dan siapa pun yang peduli akan nasib bangsa dan penderitaan rakyat. Tapi belum tentu bagi politisi avonturir, karena keberadaan undang-undang privatisasi membatasi ruang gerak mereka untuk memerah dan mencabik-cabik BUMN bagi kepentingan mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo