Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arswendo Atmowiloto
Pengamat sosial
APAKAH salah jika anggota Dewan Perwakilan Rakyat minta kenaikan gaji? Tidak. Usul kenaikan gaji adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana umur dan harga juga selalu naik. Soal umur, karena tambah tua tambah tak bisa apa-apa, bisa diusulkan agar dapat pensiun seumur hidup. Ini untuk antisipasi, kalau lembaga recall dihidupkan, atau nanti tak terpilih lagi. Harga juga selalu naik, dan selama ini anggota DPR juga memberi persetujuan kenaikan harga BBM, listrik, atau yang lain. Toh kenaikan harga, yang berarti dikuranginya subsidi, akan dikembalikan ke rakyat. Dan mereka adalah wakil rakyat.
Ini juga bukan usul semua anggota secara bulat. Ada yang tidak ikut, karena selama ini, menurut laporan, 30 persen dari 500 anggota tidak menghadiri rapat paripurna atau rapat-rapat komisi.
Selama ini hal semacam itu bisa berlangsung dengan aman. Kalaupun ada gejolak, hanya ribut-ribut yang tak berlarut. Soal mesin cuci sudah bersih dengan sendirinya. Soal studi banding juga sudah membuahkan hasil. Bahwa anggota DPR ataupun MPR di luar negeri gajinya lebih gede, masing-masing punya tiga sekretaris, padahal di sana tak sering membentuk pansus. Para wakil rakyat ini juga bekerja keras. Bukan hanya mengacungkan tangan dan meneriakkan interupsi, kalau perlu adu jotos. Semua sudah dibuktikan dalam siaran langsung ke seluruh negeri. Kalau mau dikaitkan dengan cek yang tercecer pun, sudah dianggap selesai. Dan kalau sukses, anggota yang di daerah bisa mengikuti. Modus operandi sama. Minta disuap, kalau pembagian tidak beres dan salah satu anggota menyanyi, salahkan pers. Kalau telanjur menyebar, transfer uang kembali. Bisa ditambahi "saya tak pernah pegang uangnya. Saya tak tahu dari mana asal kiriman uang itu dan untuk apa"?tapi tahu ke mana mengirim kembali.
Jadi, sebenarnya, kenaikan gaji itu hal yang wajar. Karena selama ini tak ada tradisi menuntut penurunan gaji. Kalau perlu, bisa dibentuk Pansus "Gaji-gate", sekadar ikut gagah dengan nama gate. Untuk merumuskan kenapa gaji anggota DPR harus naik. Untuk itu perlu disosialkan ke masyarakat melalui iklan layanan masyarakat. Agar mendapat kesan kenaikan gaji bukan soal serius, dipakailah pelawak-pelawak. Untuk membuatkannya, rangkul saja LSM atau sejenis itu yang punya rekanan perusahaan iklan. Rezeki dibagi makin banyak akan membuat angka makin besar, dan lebih aman.
Dari mana biaya untuk sosialisasi?
Mudah. Selama ini sudah ada rekanan yang mau berpartisipasi, seperti juga banyak rekanan yang mau membiayai akomodasi kalau melihat perusahaan dalam negeri yang punya cabang di luar negeri. Atau kebalikan dari itu.
Supaya tidak kalah wibawa dengan wakil rakyat di luar negeri, bisa juga diusulkan agar gaji dibayar dengan kurs dolar. Meskipun menurut berita dari sms telepon seluler, pembayarannya dilakukan dalam yen. Bisa yen Jepang yang berarti 70 kali nilai rupiah, atau yen Jawa... Yen ana duwite... yen ora lali... Yen ora duwe isin..., yang artinya... kalau ada duitnya, kalau tidak lupa, kalau tak tahu malu.
APAKAH salah demokrasi di Indonesia?
Rasa-rasanya juga tidak. Demokrasi mensyaratkan sarana, pra-sarana dengan segala prosesnya, sama dengan di negara lain. Yang berbeda, dan tak pernah masuk perhitungan, adalah bahwa manusia Indonesia mempunyai "kelainan". Karena masuk melalui pintu orang partai, atau kader, ya, seragam itu terus dikenakan sebagai kacamata untuk melihat segala sesuatu.
Tak beda dengan kernet bus kota yang berhenti di pengkolan. Sang kernet turun ke jalan dan berteriak: "Kosong..., kosong, langsung jalan." Sang kernet, atas instruksi dan persetujuan pengemudi, bukan merasa bagian dari jalan raya. Dirinya adalah kernet yang mengejar setoran, dan kemacetan yang diakibatkan adalah urusan orang lain.
Mental yang sama dimiliki para "pak ogah" yang mengatur jalanan. Sang kernet dan pak ogah bukan wakil rakyat, melainkan wakil dari perutnya sendiri, isi hati dan kemampuan mulutnya bicara.
"Persatuan dan Kesatuan" yang dimiliki sebatas "partai" kecil dalam pengertian geng. Dalam kehidupan di penjara, hal semacam ini mudah terbaca. Sehingga muncullah "geng Kasmar' (Makassar), yang anggotanya berasal dari wilayah tersebut. Atau "geng Priok", karena operasionalnya di wilayah Tanjungpriok. Mereka juga bisa berkumpul dalam "komisi" narkotik, "komisi" penodongan.
Artinya, mereka merasa bagian dari geng dan akan membela apa pun yang dianggap mengganggu kewibawaan dan kelangsungan geng. Picuan semacam ini membelah barisan apa yang terjadi di berbagai kerusuhan di Tanah Air. Salah satu yang masih akurat, tawuran di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta. Tiba-tiba peta tawuran seakan berinduk dari "geng Madura" dengan "geng Banten". Proses indentifikasi terjadi dan mandek cuma di situ.
Kalau sudah begini, pembenaran terjadi untuk membela nama besar wilayah, agama, suku, atau partai. Kritik pada perorangan adalah serangan pada induk, pada partai, pada totalitas. Dan mereka mewakili, untuk memperjuangkan?sebagaimana gambaran pahlawan pada zaman dulu.
Tentu "komisi-komisi" ini bisa bersatu ketika meminta jatah makan bukan kepala dan ekor ikan melulu. Ini kepentingan bersama, seperti juga mengusulkan kenaikan gaji.
Sebenarnya agak riskan juga menyamakan anggota DPR dengan preman, atau pak ogah, atau narapidana, atau kernet. Sebab, bahkan para preman pun bisa tersinggung dan merasa dilecehkan. "Begini-begini, kami tak pernah dipimpin tersangka."
Dengan kata lain, kalau memang ingin tampil sebagai wakil rakyat, ya, menyatu dengan keberadaan masyarakat. Kebersamaan ini akan mendapat dukungan lebih luas. Boleh saja naik gaji tiga kali, tapi bagaimana dengan gaji para guru, para perawat yang diwakili? Itu dulu diperjuangkan sampai berhasil. Bukan karena tanpa guru mereka tak bisa jadi seperti sekarang ini, melainkan karena guru adalah rakyat. Kalau ini bisa menjadi sikap, gantian masyarakat yang berdemo mengusulkan kenaikan gaji para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
APA susahnya memakai satu baju?
Ini sebenarnya hanya mengubah wawasan, bukan memakai urusan perut dan mulut sendiri, melainkan yang diwakili. Jadi, tak begitu sulit. Meskipun kenyataannya berbelit dan memberi kesan pelit.
Jadi, bagaimana sebenarnya perihal usul kenaikan gaji?
Jawabnya adalah "gaji-gate" yang tak perlu bikin kaget. Penjelasannya sederhana saja: para anggota DPR boleh naik gaji, dan itu perlu. Untuk membayar mahal apa yang mereka lakukan dengan bagus: mau dan mampu mempermalukan diri.
Meski gaji berapa pun, jangan menjadi bias karenanya, rasa-rasanya tak bisa untuk mengurangi, apalagi menghapus dosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo