MARET 1977 merupakan bulan kelabu untuk olahraga mendaki gunung.
Dalam bulan ini musibah menimpa silih berganti. Musibah ini
dapat digolongkan yang terbesar dalam 8 tahun terakhir-bukan
saja bagi olahraga mendaki gunung, tapi untuk dunia olahraga
umumnya.
Sejak meninggalnya Soe Hok Gie (adik Arief Budiman) dan Idhan
Lubis dari MAPALA UI Jakarta (1969) di Gunung Semeru, berlanjut
tewas pula Subyanto dan Tony Wahyu dari Young Pioneers Malang
(1972) di Mahameru juga Disambung dengan wafatnya Bambang yang
mahasiswa Tambang ITB (1972) di Gunung Pangrango. Ditambah,
Maret 1977, 5 mahasiswa Teknik UGM di Gunung Sumbing dan 3 siswa
SMAN IV Yogyakarta di Gunung Merapi.
Tampaknya belum ada olahraga lain yang meminta korban sebanyak
itu dalam waktu 8 tahun. Balap mobil, terjun payung -- yang
tergolong olahraga berbahaya - tidak minta korban demikian
banyak. Belum termasuk para penduduk yang mendaki puncak gunung
untuk bersemadi dan "mencari wangsit".
Dalam 4 kali gladian (semacam kongres) Para pendaki gunung se
Indonesia pertama di Citatah (1970), kedua di Batu Malang
(1971) ketiga di Pantai Carita Ujung Kulon (1972), dan keempat
di Ujung Pandang (1974) - telah banyak dibicarakan masalah
korban yang berjatuhan.
Di tiap gladian itu pula selalu dicanangkan bahwa: pendaki
gunung bukan penentang alam, tapi harus bersahabat dengan alam.
Ia harus mampu hidup dan menyesuaikan diri dengan alam
sekeliling, serta harus belajar pula dari alam sendiri. Dari itu
telah dirumuskan: seorang pendaki gunung harus mempunyai 3
kemampuan pokok yaitu: kemampuan untuk tetap hidup (survival),
kemampuan untuk melakukan pertolongan, dan kemampuan
pengetahuan/ilmiah.
Dus tidak semua orang -- meskipun bersemangat mendaki gunung -
dapat menjadi pendaki gunung. Disebabkan kesadaran ini masih
kurang, ditambah dengan emosi hati muda, maka banyak para
pendaki yang jadi korban. Ini terlepas dari persoalan takdir
yang mutlak.
Sehubungan dengan hal di atas dan mengingat aspirasi pemuda
untuk mendaki gunung semakin meningkat, saya ingin mengusulkan
agar pemerintah, dalam hal ini Dirjen Olah Raga/Pemuda dan KONI
dapat mengorganisir setiap kegiatan yang berhubungan dengan olah
raga mendaki gunung dan menjelajah rimba. Caranya: dengan
membuat jadwal tertentu bagi yang mau mendaki, semacam tourlah.
Pelaksanaanilya diserahkan kepada pengurus. KONI daerah, dibantu
organisasi-organisasi pendaki gunung.
Cara begini akan lebih bermanfaat, terarah, dan tidak liar.
Apalagi hampir di seluruh daerah ada organisasi pendaki gunung
dan penjelajah rimba. Sekedar contob: MAPALA UI, Sabha Mandala
IMADA, REPALA (Jakarta), Cara-cara Camping Club (Bogor),
Wanadri, Extemazs, Crosser, Mounstera (Bandung), TMS.7, Young
Pioneer, Saltigrada (Malang), Kapuronto (Surabaya), Libra Double
Cross, Antariksa (Ujung Pandang).
Bagi daerah yang belum ada organisasi, dapat saja pengurus KONI
setempat meminta bantuan organisasi pendaki gunung daerah lain
yang terdekat, asal jadwalnya diberitahukan 3 bulan sebelum
pelaksanaan. Untuk seterusnya seara bertahap dapat membentuk
satu organisasi pendaki gunung di daerahnya.
Saya rasa dengan mengorganisir dan kerja sama ini, insya Allah
korban tak akan berjatuhan.
RIDWAN ENBE
Gudep Pramuka Sorong 55 & 48,
Jl. A Yani, Sorong, Irian Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini