Pengesahan dua rancangan undang-undang perburuhan kembali ditunda. Yang pertama adalah Rancangan Undang-Undang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK), kedua adalah Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Industrial (PPI), yang lebih banyak mengatur prosedur teknis, termasuk menyangkut pengadilan khusus beserta para pelaksananya dan tata cara pengangkatan para hakim, panitera, dan sebagainya. Bahkan kali ini penundaan berlangsung sampai waktu tak terbatas, dari semula akan disahkan pada 17 September lalu.
Padahal, sebelumnya tampak semua pihak bertekad menuntaskan kedua rancangan itu sebelum 1 Oktober 2002. Inilah batas waktu pencairan kembali secara otomatis berlakunya Undang-Undang No. 25/1997, yang dibekukan oleh peraturan pengganti undang-undang karena dipandang tidak akomodatif, baik bagi kepentingan pekerja—kini berhimpun dalam lebih dari 100 organisasi—maupun untuk majikan, yang terutama dijurubicarai oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Menyelaraskan kepentingan kalangan buruh dan kaum pengusaha memang sungguh tak gampang, tapi mesti diupayakan seadil mungkin. Menteri Jacob Nuwa Wea mencatat ada 35 pasal dari kedua rancangan undang-undang itu yang masih didebatkan. RUU PPK sendiri, setelah dibahas berkali-kali, kini terdiri atas 203 pasal, dan RUU Penyelesaian Perselisihan Industrial berisi 82 pasal.
Upaya penyelarasan itu agaknya kian dipersulit karena Indonesia hingga kini belum juga punya pedoman umum perencanaan ketenagakerjaan, meski ihwal ini disebut dalam Pasal 7 dan 8 RUU PPK. Tapi semua itu baru direncanakan, dan justru diamanatkan oleh RUU PPK, bukan dijadikan pedoman olehnya.
Selain itu, terkesan dalam beberapa hal pembuat undang-undang mengandaikan subsistem-subsistem di luar urusan perburuhan sudah beres. Misalnya, ketentuan yang menyangkut pemutusan hubungan kerja. RUU PPI mengizinkan pengusaha langsung melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya. Jika si karyawan tidak setuju, ia boleh menggugat ke pengadilan khusus perselisihan perburuhan, yang masih melekat pada pengadilan negeri (ini pengadilan baru yang pembentukannya diamanatkan oleh rancangan undang-undang itu).
Ketentuan ini mengasumsikan bahwa keputusan pengadilan kita bisa dijamin keadilannya dan bersih dari unsur suap. Padahal, jika harus bertarung di pengadilan, hampir bisa dipastikan buruh akan kalah—seperti terlihat dari banyak preseden. Juga lantaran pengusaha lebih mampu membayar para pengacara lihai.
Inilah salah satu yang dikeluhkan kalangan buruh, sehingga mereka meminta agar prosedur PHK dikembalikan seperti sebelumnya, yaitu ada keharusan izin dari lembaga pemerintah. Apa boleh buat, rupanya bagi buruh tetap terasa lebih aman menyandarkan punggung pada penguasa ketimbang pada pengusaha.
Di sisi lain, ada pasal yang sangat "maju", bahkan diukur dari standar negara industri maju sekalipun. Misalnya dalam soal mogok. Upah/gaji buruh yang sedang mogok tetap harus dibayarkan. Seperti dikeluhkan kalangan pengusaha, ketentuan ini sungguh ganjil.
Pemogokan itu sendiri dirasakan sudah merugikan pengusaha, tapi pengusaha masih diharuskan pula menggaji buruh, seakan mereka sedang bekerja demi kejayaan perusahaan. Di negara-negara maju pun, yang posisi buruhnya amat kuat, ketentuan ini tak dikenal.
Ada pula pasal yang dipandang aneh oleh pengusaha, yaitu ketentuan tentang pesangon—bahkan disertai "uang penghargaan"—bagi buruh yang mengundurkan diri. Tentu saja celah ini berpotensi besar dimanfaatkan oleh mereka yang tergiur, terutama oleh "uang penghargaan" itu. Mereka bisa mundur tanpa angin ataupun hujan, dan pulang mengantongi uang dalam jumlah cukup berarti.
Kedua rancangan undang-undang ini akan kembali dibahas pada 25 Oktober, setelah reses DPR. Mungkin dalam sidang itu pun keduanya belum bisa disahkan, selama pasal-pasal yang kontroversial (bagi buruh ataupun pengusaha) gagal dirumuskan secara cukup memuaskan.
Berlarutnya pengesahan ini memang bisa ikut memperkeruh perekonomian kita. Tapi, di sisi lain, ia menyiratkan menguatnya para pihak, terutama buruh, dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
Anton J. Supit dari Asosiasi Persepatuan Indonesia berharap agar buruh tak hanya memikirkan kepentingan mereka yang saat ini sedang bekerja, tapi juga mempertimbangkan kepentingan para calon yang akan masuk ke kancah tenaga kerja. Kalau investor kabur, kata dia, bukan hanya mereka yang sudah bekerja berubah jadi penganggur, tapi gelombang besar yang harus masuk lapangan kerja pun tertutup peluang kerjanya.
Dengan kata lain, buruh diminta pengertiannya agar turut memikirkan kepentingan bangsa yang lebih luas. Dengan cara yang sama, kalangan buruh pun bisa menuntut hal serupa dari kaum pengusaha.
Pengusaha diminta meninggalkan semangat kapitalisme klasik abad ke-18 dan ke-19, ketika mereka sedang di puncak kerakusannya, ketika mereka sangat enggan memberi konsesi yang dalam jangka pendek mungkin merugikan tapi dalam jangka panjang bisa menguntungkan mereka sendiri.
Ada baiknya semua pihak menoleh ke Jepang, yang keperkasaan industrinya mencengangkan tapi sengketa perburuhannya jarang terdengar. Bahkan loyalitas buruhnya pada perusahaan sudah termasyhur. Mengapa mereka bisa demikian? Salah satu jawabannya: buruh punya hak saham. Raksasa seperti Mitsubishi pada dasarnya adalah koperasi. Perusahaan-perusahaan semacam itu dimiliki oleh ratusan ribu orang.
Maka, semua karyawan pun, termasuk keluarga-keluarga mereka, merasa memiliki perusahaaan—dan memang benar-benar ikut memilikinya, bukan sekadar "merasa" sebagaimana kerap dianjurkan di sini. Tapi realistiskah kita menengok Jepang? Kalau tidak, mari kita urus dulu timbunan perkara di Tangerang dan Bekasi.
Hamid Basyaib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini