Majalah Life edisi Juni 1996 memuat foto Tariq dikelilingi guntingan kulit yang harus dijahitnya menjadi bola sepak Nike. Bocah Pakistan berumur 12 tahun itu harus bekerja seharian penuh untuk mendapat upah senilai Rp 5.000 sehari. Para aktivis di Kanada dan Amerika berduyun berdemonstrasi di depan toko-toko yang menjual sepatu Nike sambil membopong foto Tariq. Mereka menilai perusahaan global itu dan agen-agennya telah mengisap buruh anak, dan mereka menganjurkan boikot terhadap barang-barang Nike.
PT Eltri Indo Footwear, anak perusahaan Astra, adalah pembuat sepatu Nike keempat terbesar di dunia. Pabrik ini memecat 24 buruhnya karena mereka menuntut dibayar upah minimum. Panitia penyelesaian perselisihan perburuhan menginstruksikan PT Eltri agar mempekerjakan kembali buruh yang dipecat. PT Eltri naik banding ke pengadilan. Lima tahun kemudian, mereka dikalahkan di tingkat Mahkamah Agung. Buruh yang dipecat harus dipekerjakan kembali, dan gaji mereka selama waktu dipecat harus dibayarkan.
Ketika dikonfrontasi dengan laporan tentang kondisi tempat kerja dan tipu-gaji di Indonesia, Nike induk selalu menjawab bahwa itu bukan tanggung jawab mereka. Mereka hanya pembeli, bukan produsen. Pada 1993, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyampaikan laporan kepada Kongres tentang praktek hak asasi di seluruh dunia. Di bagian tentang hak-hak buruh di Indonesia dinyatakan bahwa sektor industri sepatu olahraga biasa melanggar ketentuan tentang upah minimum.
Terdesak oleh opini publik di seluruh dunia, Nike terpaksa merumuskan semacam pedoman kerja bagi perusahaannya. Mereka antara lain berjanji akan mengawasi kepatuhan para kontraktornya pada peraturan perburuhan di negara kontraktor. Baru pada 1994, Nike mengakui bahwa gaji buruh di pabrik-pabrik Bata—produsen sepatu murah untuk pasar Indonesia—jauh lebih baik daripada gaji di pabrik-pabrik produsen sepatu mahal untuk ekspor itu.
Tahun 1997, nilai rupiah anjlok. Pemegang dolar dan eksportir untung besar. Kaum buruh Nike celaka. Sebelum rupiah crash, mereka bergaji US$ 2,46 sehari, dan tiba-tiba hanya menerima senilai 65 sen dolar. Nike menunggu 6 bulan sebelum mengusulkan kenaikan sedikit upah harian buruh. Pada 1998, ketika gaji harian buruh Nike dinaikkan 20 sen dolar, juru bicara Nike cemas bahwa kenaikan itu akan membuat Indonesia tersingkir dari pasar dunia.
Krugman dan Sampah
Paul Krugman menulis kolom di The New York Times tentang kejahatan perusahaan yang membayar gaji kecil dan meraup laba besar. Menurut profesor ekonomi di MIT itu, praktek pengisapan buruh itu memang jahat tapi lebih baik ketimbang nasib mereka sebelumnya. Alegori yang dipilih Krugman adalah gundukan sampah besar di Manila yang dijuluki "Smokey Mountain". Gunung sampah itu telah menjadi simbol kemelaratan Dunia Ketiga.
Beberapa ribu laki-laki, perempuan, dan anak kecil hidup di atas sampah tersebut. Mereka tahan bau busuk, kerumunan lalat, dan sampah beracun guna mengorek-ngorek nafkah sehari-hari. Hasilnya lumayan, US$ 10 sehari untuk keluarga beranak dua. Jauh lebih baik ketimbang mengemis. Krugman tercengang ketika menerima reaksi pembaca: "Kalau Tuan kehilangan pekerjaan empuk sebagai profesor Amerika, memang gampang mendapat pekerjaan lain—asal tidak lebih tua dari 12 tahun dan mau bekerja untuk 40 sen sejam!"
Masalahnya tidak sesederhana itu, kata Krugman, dan garis moralnya pun tidak sejelas yang dikemukakan para kritikus kolomnya. Secara berkelakar, ia melontarkan tuduhan balik: "Kritik kalian memang enak dilontarkan, karena tidak berpikir panjang!" Duduk perkaranya, menurut Krugman, adalah sebagai berikut.
Dua puluh tahun lalu negeri miskin seperti Bangladesh dan Indonesia masih terperangkap dalam ekspor bahan mentah dan impor barang jadi. Sektor manufakturnya tidak efisien dan tidak menyerap banyak tenaga kerja. Di sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mendesak petani bekerja di ladang yang kian kecil, atau menjadi gelandangan di kota besar.
Ketika itu, buruh murah tidak cukup untuk bersaing di pasar manufaktur dunia. Produsen lebih suka beroperasi di negara kaya, karena prasarananya lengkap, keterampilan dan produktivitas kerja buruhnya tinggi, kepastian hukum ada, dan politik stabil.
Tiba-tiba ada sesuatu yang terjadi yang sampai sekarang belum sepenuhnya dapat kita mengerti. Kombinasi faktor-faktor seperti bea masuk yang menurun, telekomunikasi yang membaik, transportasi udara yang lebih murah telah membuat posisi bersaing negara miskin menjadi lebih maju. Perkembangan ini membuat negara berkembang masuk ke pasar dunia dalam beberapa industri manufaktur.
Negeri yang tadinya jual kopi dan kopra tiba-tiba bisa jual jeans, T-shirt, dan sepatu. Seperti para pemulung di gunung sampah Manila, yang berpenghasilan lebih baik ketimbang jadi pengemis, buruh yang dibayar murah di pabrik-pabrik Nike bernasib lebih baik ketimbang menjadi gembel.
Kepada pengkritiknya, Krugman berseru: Kalau sinyo-sinyo negeri kaya tidak tega melihat nasib buruh di negeri miskin, hendaknya memberi alternatif. Kalau tidak punya alternatif, sebaiknya berpikir panjang dulu sebelum berkaok. Berlagak alim tidak cukup. Bila menyangkut nasib ratusan juta manusia, berpikir panjang bukan sekadar latihan otak. Ia suatu kewajiban moral.
(Nono Anwar Makarim, disunting dari Paul Krugman, "In Praise of Cheap Labor, Bad Jobs at Bad Wages are Better Than No Jobs At All"; laporan putusan Mahkamah Agung dalam kasus PT Eltri Indo Footwar, TAPOL, 6 Mei 1998; dan Studi Kasus "Nike Shoes and Child Labor in Pakistan").
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini