SEBANYAK 47 perempuan dan laki-laki tenggelam di lepas pantai Selangor. Berita tahun 1993 itu menghebohkan banyak orang. Mereka tidak tahu malapetaka serupa menimpa tenaga kerja Indonesia setiap tahun ketika ratusan manusia dijejalkan ke dalam perahu yang bukan khusus pengangkut orang. Sering kali perahu-perahu yang sarat tenaga kerja Indonesia (TKI) berlayar tanpa penerangan karena takut dipergoki kapal patroli pantai Malaysia. Sering terjadi, perahu-perahu itu ditabrak kapal besar yang lalu-lalang di Selat Malaka.
Setahun kemudian, muncul lagi berita yang menggemparkan masyarakat kedua negeri. Dua belas perempuan Indonesia disekap di sebuah rumah di Cheras, kawasan hunian di Kuala Lumpur. Suami-istri Wong, yang mengurungnya, memberi mereka nasi dan garam setiap harinya. Keswi, seorang di antaranya, sedang hamil. Ia mendengar, kalau anaknya lahir, ia akan dipaksa menjual anaknya itu. Ia sangat takut.
Saking takutnya, Keswi pun nekat terjun dari jendela kamar di tingkat dua "rumah tahanan" itu. Ia ditolong oleh para tetangga, lalu dilarikan ke rumah sakit. Polisi, yang dilapori, menggerebek rumah Wong, dan ke-12 perempuan Indonesia itu dibebaskan. Polisi kemudian menanyakan bagian konsuler KBRI, apakah ke-12 perempuan itu bisa ditampung di KBRI, karena polisi tidak bisa menahan mereka selagi visanya masih berlaku. Lagi pula para TKI tidak mampu membayar penginapan.
Permohonan polisi Malaysia ditolak KBRI. Alasannya singkat: tiada anggaran untuk itu. Yang akhirnya membantu para perempuan malang itu adalah PKAI, sebuah LSM Malaysia yang khusus didirikan untuk membantu orang Indonesia yang tertimpa musibah. Buku Sidney Jones, Making Money Off Migrants (Asia 2000 Ltd., Hong Kong, 2000) mempersandingkan antara fakta penolakan KBRI membantu warga negara negeri yang diwakilinya dan suatu LSM Malaysia yang mengulurkan tangannya. Menyedihkan dan memalukan.
Hak Milik Majikan
Hamida, Yanti, dan Hasanah berasal dari keluarga muslim soleh yang miskin di sekitar Pontianak. Hamida lulusan SD madrasah, Hasanah anak petani penjaga masjid desa, sedangkan ibunya guru mengaji. Ketika direkrut, mereka dijanjikan pekerjaan di keluarga muslim. Tipu sang agen yang merekrut mereka pada Juni 1995 baru tampak ketika mereka dipekerjakan di perusahaan pengantar makanan milik orang Cina. Mereka dipaksa bekerja 15 jam sehari, menangani bingkisan-bingkisan daging babi, tak diizinkan salat. Sedangkan gaji mereka dipotong tanpa mereka diberi tahu sampai berapa lama. Akhirnya mereka minta pertolongan agar dipulangkan ke tempat asalnya.
Ningsih adalah perempuan Wonokromo. Umurnya 39 tahun. Ia dibeli seharga 3.000 ringgit (sekitar Rp 7,5 juta) dari agennya. Ia bekerja 13 bulan di rumah tangga seorang kontraktor Cina di Kuala Lumpur, dan agak heran mengapa selama lima bulan terakhir ia sama sekali tak menerima gaji. Ketika bertanya pada sang majikan, ia diberi tahu bahwa ia sudah merupakan milik sang majikan, dan harta milik tidak perlu digaji.
Halimah dari Kediri, umur 26 tahun; Sukartini dari Jember, umur tidak diketahui; Aliyah dari Kediri, umur 23 tahun, Ida dari Siparepare, dan Nurani dari Taliwang tidak menerima gaji dari 4 hingga 34 bulan. Sedangkan Ida sudah dua kali dijualbelikan.
Juni 1992, di Hotel Tawau, sembilan perempuan muda—16 hingga 22 tahun—ditemukan terkurung. Mereka dipaksa melakukan prostitusi. Sudah dua bulan mereka di sana. Bila menolak "melayani" tamu, mereka tidak diberi makan. Mereka dijaga hampir 24 jam sehari. Ketika direkrut seorang agen di Tuban, mereka dijanjikan akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran. Begitu tiba di Hotel Tawau, mereka dijual kepada germo.
Yayuk, asal Probolinggo, termasuk paling mahal. Ia dijual Rp 5.5 juta. Di Hotel Plaza Tawau ada sekitar 40 perempuan yang disekap oleh sedikitnya delapan germo. Tempat-tempat konsinyasi perempuan yang lain adalah Chester Inn dan Hong Kong Hotel di Tawau, dan Lahad Datu di Sabah. Korban rata-rata dari Jawa Timur.
Endang, asal Sidomulyo, ditangkap polisi ketika ia berusaha menjual seorang gadis seumur 15 tahun. Harganya Rp 520 ribu. Kegadisannya ia jual Rp 1,6 juta, ceritanya kepada polisi. Dari jumlah itu, ia diberi Rp 350 ribu. Sisanya untuk makelar perawan. Selama berprofesi sebagai pelacur, Endang sering mengirim uang kepada orang tuanya di kampung.
Sikap Pemerintah
Sikap pemerintah terhadap malapetaka yang menimpa TKI terlihat dari pernyataan yang harus ditandatangani setiap TKI sebelum mereka diberangkatkan ke negara tujuan:
"Saya tidak akan mengungkapkannya kepada surat kabar baik dalam maupun luar negeri, atau kepada pihak yang tidak berwenang mengenai permasalahan saya (jika ada) selama bekerja di luar negeri, karena saya menyadari sepenuhnya bahwa masalah tersebut merupakan masalah peka yang dapat mengganggu hubungan bersahabat dan bersaudara yang telah terjalin baik antara pemerintah Indonesia dan negara tempat saya bekerja." (Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. Kep. 420/Men/1985, tertanggal 24 April 1985.)
Sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah TKI sangat konsisten sepanjang kurang peduli, kurang paham, dan kurang pandai. Semua pengamat pekerja migran bersaksi bahwa kepedulian Filipina jauh lebih besar ketimbang Indonesia.
Sidney Jones menonjolkan dua masalah struktural. Pertama, TKI diperas secara kolektif oleh agen yang merekrut, perusahaan prinsipal si agen, pejabat departemen, pejabat imigrasi, tentara, dan polisi baik di Indonesia maupun di negeri tujuan dan di tempat bekerja. Pemerintah pusat menarik manfaat dari TKI resmi, sedangkan pemerintah lokal memeras TKI selundupan.
Jelas sekali soal TKI bukan sekadar masalah tiga menteri. Ia bencana nasional seperti banjir, seperti kemarau panjang, seperti perang saudara. Semuanya harus ditangani secara nasional, dipimpin oleh presiden. Ia harus melibatkan TNI AD, TNI AL, badan intelijen, Polri, departemen-departemen hukum, tenaga kerja, dan dalam negeri. Juga seluruh jajaran birokrasi di berbagai lokasi penyeberangan perbatasan, Palang Merah, Departemen Luar Negeri, dan organisasi non-pemerintah.
Kedua, mengalirnya arus tenaga kerja dari wilayah minus ke wilayah plus bukanlah ekses, bukan keganjilan ataupun penyelewengan yang mesti dibasmi. Ia gejala alami, seperti air yang mengalir dari gunung ke laut.
Melarang provinsi mengirim TKI ke luar negeri sambil menanti MOU (semacam kesepakatan) antara RI dan Malaysia menunjukkan ketidakpahaman dalam dua aspek. Bahwa pemerintah daerah mampu menyetop penyelundupan TKI, dan bahwa MOU merupakan kunci pemecahan masalah.
Seribu MOU pun tak akan mempan mengatasi eksodus TKI ke Malaysia. Saya sangsi apakah pemerintah yang ini mampu mengantisipasi krisis, memperkirakan dimensinya, mengatur logistik dan perangkat administratifnya supaya siap terjun begitu krisis meluap. Saya amat sangsi apakah pemerintah yang ini mampu melembagakan koordinasi antarinstansi di lokasi pemberangkatan gelap seperti Pekanbaru, Dumai, Tarakan, Nunukan, Parepare, dan Entikong.
Karena itu, saya lebih condong pada jalan keluar sederhana yang disarankan Sidney Jones: tanda tangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarga Mereka, dan simak Undang-Undang Pekerja Migran dan Warga Negara Filipina di Perantauan Tahun 1995 (Undang-Undang Republik No. 8042). Undang-undang itu mewajibkan setiap kedutaan Filipina di negara-negara penampung tenaga kerja Filipina membentuk pusat bantuan pekerja migran.
Pusat tersebut berfungsi sebagai pemberi jasa hukum dan bimbingan. Ia juga memberi bantuan kesejahteraan, termasuk jasa pengobatan dan perawatan di rumah sakit, penerangan, pembentukan jaringan komunitas tenaga kerja Filipina setempat, dan penyelenggaraan program orientasi sosial bagi pekerja yang dipulangkan, dan program yang khusus ditujukan pada tenaga kerja perempuan. Pusat-pusat ini wajib buka 24 jam setiap hari, termasuk hari besar, dan mempekerjakan seorang ahli hukum dan seorang pekerja sosial.
Secara minimal, kita harus mengumumkan adanya pusat-pusat penampungan TKI, bantuan hukum, dan suatu hotline telepon di Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur dan konsulat-konsulat kita di Kota Kinabalu dan Tawau.
Bila bencana berulang, dan setiap kali pemerintah kedodoran, bukan media yang harus dituduh membesar-besarkan kesengsaraan TKI. Pemerintahlah yang tidak fit and proper.
Nono Anwar Makarim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini