Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang sering berkata, pengadilan adalah benteng terakhir penegakan hukum. Sebagai benteng, lembaga peradilan pun berjenjang, ada peradilan tingkat pertama, peradilan banding, dan peradilan tingkat kasasi. Sampai di sini pun para pencari keadilan masih diberi kesempatan melakukan peninjauan kembali, sepanjang ada bukti baru yang ditemukan.
Jadi, untuk apa melakukan tekanan kepada lembaga peradilan tingkat pertama? Tekanan yang dimaksud adalah di luar jalur hukum, seperti pengerahan massa dan aksi unjuk rasa, yang bisa membuat ketenangan para hakim terganggu. Kalau sekadar memberikan dukungan kepada terdakwa dengan dalih terdakwa dijadikan "korban" ketidakadilan, itu masih bisa diterima, sepanjang semuanya berlangsung dalam keadaan tertib. Di ruang sidang, hakim bisa menertibkan pengunjung, bahkan bisa meminta keluar pengunjung yang mengganggu jalannya sidang.
Pekan lalu, setidaknya ada dua kasus yang bisa dijadikan contoh betapa pengerahan massa mewarnai sidang peradilan. Yang pertama adalah ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa kasus terbunuhnya Basri Sangaji. Pemuda Maluku cucu pahlawan A.M. Sangaji ini dikenal mempunyai banyak pengikut di Jakarta. Ia dibunuh oleh sekelompok pemuda yang juga berasal dari Maluku. Yang diajukan sebagai terdakwa kasus ini adalah Semy Key. Nah, pengikut Sangaji dan pengikut Semy Key sama-sama mengerahkan massa ke pengadilan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Kerusuhan meledak, bukan hanya main lempar batu atau saling gebuk, parang pun berkelebat. Hakim sampai menutup persidangan dengan terburu-buru dan menunda sidang sampai waktu yang belum ditentukan.
Kasus kedua, esok harinya, dalam persidangan Ustad Abu Bakar Ba'asyir. Yang mengadili juga majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, cuma tempatnya meminjam aula Departemen Pertanian. Di sini ratusan pendukung Ba'asyir memenuhi ruang sidang. Mereka datang dari beberapa daerah, terutama Solo, tempat Ba'asyir mendirikan pondok pesantren. Untungnya, polisi melakukan antisipasi yang jitu. Semua senjata tajam yang dibawa pengunjung disita terlebih dahulu. Bahkan ditemukan beberapa bom molotov. Memang, polisi sendiri mengakui, belum tentu bom molotov itu dibawa oleh pendukung Ba'asyir. Karena polisi telah mengantisipasi keadaan ini, hal negatif tidak sampai terjadi.
Jika demikian halnya, tugas polisi menjadi penting untuk mengamankan sidang di pengadilan negeri. Pihak pengadilan pun bisa mencari gedung lain sebagai alternatif tempat sidang jika dirasa akan ada gangguan keamanan. Seperti kasus Abu Bakar Ba'asyir, banyak kasus lain yang sidangnya meminjam gedung lebih besar. Akbar Tandjung dan Tommy Soeharto, misalnya, keduanya disidangkan di luar gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertimbangannya tentu karena terdakwa bisa mendatangkan massa.
Belajar dari sini, persidangan kasus terbunuhnya Basri Sangaji layak dipindahkan ke tempat yang lebih luas sehingga polisi bisa melakukan seleksi lebih ketat. Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terlalu sempit untuk mengadili kasus yang melibatkan dua kelompok pemuda yang anggotanya sampai ribuan. Dalam sidang pekan lalu, misalnya, polisi sudah mengerahkan seribu personel, toh masih kewalahan memisahkan kedua kelompok pemuda itu. Memang, sangat memalukan kerusuhan justru terjadi di tempat orang mencari keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo