Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapel Sistine di Vatikan adalah sebuah tempat keramat. Inilah tempat penyelenggaraan konklaf, tempat para kardinal menyelenggarakan pemilihan paus baru secara tertutup dan rahasia. Dalam konflaf, setiap kardinal akan mendengarkan "suara rahasia" yang diembuskan: nama kardinal yang layak menduduki Takhta Suci. Untuk satu pekan yang sunyi dan penuh doa itu, perhatian mereka tertuju pada satu hal: mendengarkan suara dari langit untuk kemudian memilih seorang kardinal sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik, Sang Pelayan dan Pelayan Tuhan, Penerus dari Santo Petrus, dan Dia yang Memegang Cincin Sang Nelayan (Ring of the Fisherman).
Tetapi Kapel Sistine sudah lama sunyi oleh kegiatan konklaf. Pemilihan paus itu terjadi 26 tahun silam. Paus Yohanes Paulus II (dengan sebutan bahasa Inggris Pope John Paul II) bertahan di takhta itu, meski berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya yang telah ringkih. Ia menjalankan tugasnya dengan tekun, dengan semangat mengelilingi puluhan negaratermasuk ke Indonesiamemperbaiki hubungan antara Gereja Katolik dan Yahudi, tetapi toh bersikukuh menentang perceraian, penyelenggaraan keluarga berencana (penggunaan kontrasepsi), aborsi, dan eutanasia. Ia sosok luar biasa yang memberikan maaf kepada orang yang pernah menembaknya.
Sebagai paus yang bertakhta paling lama263 paus sebelumnya selalu saja segera mangkat setelah beberapa tahun duduk di Takhta Sucitak mengherankan bila isu pergantian selalu saja timbul dan menjadi perdebatan klasik di antara umat Katolik. Harus diakui, Vatikan pun tetap mempunyai perselisihan dan kecamuk politik.
Beberapa pemimpin gereja yang lebih moderat dan progresif, seperti Uskup Agung Godfried Daniels dari Brussels, Belgia, bukan hanya menyarankan pembatasan masa kepemimpinan paus, tetapi dia bahkan memiliki pendekatan yang liberal dalam soal perkembangan dunia. Dia, misalnya, mendukung penggunaan kondom bagi pengidap HIV (human immunodeficiency virus)hal yang bertentangan dengan sikap Yohanes Paulus II. Ini memang suara minoritas, tetapi suara yang berbeda dengan pimpinan akan selalu ada dan itu tak perlu dibunuh.
Yang harus dipahami tentang Vatikanterutama bagi umat non-Katolikpersoalan Takhta Suci, lengkap dengan masa kepemimpinan paus, bukan persoalan demokrasi politik, melainkan soal keimanan. Paus bukanlah seorang presiden, perdana menteri, atau pemimpin redaksi, yang mempunyai batas waktu pemerintahan. Paus pertama, Santo Petrus, adalah seorang nelayan, murid Yesus Kristus yang kembali ke Roma atas sabda Yesus agar memimpin umatnya. Santo Petrus menjadi paus pertama yang kemudian dilanjutkan seterusnya hingga Paus Yohanes Paulus II sebagai paus ke-264. Seorang paus adalah pucuk tertinggi dari umat, karena itu memang kepemimpinannya berhenti setelah napasnya berakhir. Kalaupun beberapa fungsi praktis Paus Yohanes Paulus II telah didelegasikan kepada para pembantunya, dia tetap akan menjadi pemimpin umat yang mengenakan Cincin Sang Nelayan yang diagungkan itu.
Paradigma pemikiran kita terhadap Vatikan dan organisasi gereja memang sebaiknya tidak merujuk pada tata cara organisasi politik sebuah negara demokrasi, melainkan kepada konsep keimanan sebuah agama yang kita hormati. Pada saat paus mengembuskan napasnya yang terakhir, lonceng akan berdentang, dan Kapel Sistine akan menyelenggarakan kesibukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo