Kartono Mohamad
Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia
In the beginning, human beings created a God who was the First Cause of all things and Ruler of heaven and earth" (Pada mulanya, manusia menciptakan Tuhan yang dianggap sebagai Awal dari segalanya dan Penguasa langit dan bumi). Demikian tulis Karen Armstrong dalam buku A History of God. Ungkapan Karen Armstrong itu tentu akan membuat marah banyak orang yang merasa beragama. Betapa tidak. Bukankah dalam keyakinan orang beragama justru Tuhanlah yang menciptakan manusia dan bukan sebaliknya? Tetapi, maksud Karen Armstrong adalah sejak zaman awal kehadiran Homo sapiens di bumi, mereka percaya bahwa ada kekuatan super dan misterius yang mengatur segala kejadian di bumi. Mereka juga sadar bahwa hidup mereka sendiri sangat rapuh dan dibayangi oleh kematian. Menjadi ciri manusia untuk selalu ingin tahu, termasuk tentang dari mana mereka datang dan ke mana setelah mati. Orang Jawa bilang dari mana sangkan paraning dumad (dari mana sebenarnya manusia muncul). Manusia pun kemudian membuat rekaan tentang bentuk dan wajah Tuhan menurut imajinasi mereka. Karena itu, dibuatlah gambar atau patung tentang bagaimana kirakira wajah dan bentuk Tuhan itu, sampai kemudian datang Islam yang melarang manusia membuat gambaran fisik tentang Tuhan.
Tapi, manusia selalu tidak puas dengan rekaan tentang Tuhan yang dianggapnya bertempat tinggal jauh dari jangkauan dan mempunyai sifat yang berbeda dengan sifatsifat manusia yang serba fana. Mereka terus mencari dan mencari. Bagi yang percaya bahwa Tuhan itu ada, mereka beranggapan bahwa rasa ingin tahu itu didengar Tuhan. Tuhan pun merespons dengan menunjuk manusiamanusia tertentu untuk menyampaikan bahwa Tuhan itu ada serta menyampaikan pesanpesan Tuhan mengenai apa yang diharapkan oleh Tuhan dari manusia, jika mereka ingin menemukan Tuhan. Tiap utusan selalu memberikan petunjuk (hints atau clue) tentang cara jika manusia ingin menemui Tuhan. Sebagian petunjuk itu bersifat abstrak dan sebagian lagi bersifat fisik, seperti ritusritus yang harus dilakukan, antara lain cara bersembahyang dan sebagainya. Perhatikan misalnya surat pertama yang diterima Nabi Muhammad S.A.W., yang dimulai dengan "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta!" Perintah yang mengandung banyak makna. Bahkan Nabi Muhammad sendiri kebingungan menerima perintah itu.
Untuk mencerna, memahami, dan mengamalkan petunjukpetunjuk yang abstrak diperlukan tingkat kecerdasan dan kemampuan kontemplasi yang tinggi. Suatu hal yang tidak semua atau bahkan sebagian besar manusia memilikinya. Karena tidak semua manusia mampu mencerna petunjukpetunjuk yang abstrak itu banyak di antara manusia yang memilih petunjukpetunjuk yang fisik. Atau menafsirkan pesanpesan yang abstrak itu secara harfiah. Tidak dapat dihindari bahwa penafsiran pesanpesan yang abstrak itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi penafsir, latar belakang pendidikannya, serta keluasan wawasannya. Betapa banyak penafsir ajaranajaran kitab suci yang melupakan konteks dan situasi ketika perintah itu diturunkan. Bukankah kitab suci diturunkan untuk berkomunikasi dengan manusia saat itu, sesuai dengan tingkat nalar dan pengetahuan mereka saat itu? Meskipun demikian, ia juga membuka kesempatan untuk dapat ditafsirkan dan dilaksanakan untuk zaman-zaman sesudahnya. Tuhan umat lslam memesankan bahwa Alquran penuh dengan contoh dan perumpamaan agar dapat dijadikan pelajaran, seperti tercantum dalam AzZumar ayat 27: "Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Alquran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran"
Kesulitan mencerna petunjuk yang abstrak mendorong manusia mencari tolok ukur fisik untuk menilai apakah seseorang sudah mendekat kepada Tuhan. Yaitu, apakah seseorang bersembahyang secara rutin, apakah ia menjalankan puasa dan ritusritus yang lain. Apakah di luar ketaatannya melakukan ritus itu, ia sudah berperilaku seperti yang diajarkan oleh kitab suci, bukanlah hal yang penting. Pemimpin yang lalim dan korup pun akan mereka bela hanya karena ia banyak membantu mendirikan rumah ibadah dan menjalani ritus fisik. Lebih parah lagi, mereka yang merasa telah melakukan ritusritus fisik itu merasa telah menemukan Tuhan. Makin buruk lagi, ketika mereka kemudian merasa menjadi pemilik Tuhan, lalu memonopolinya. Seolah Tuhan hanya milik mereka. Mereka pun menghujat, mengutuk, dan mengafirkan orang lain yang tidak sependirian dengan mereka. Bahkan terhadap orang dari agama yang sama.
Tuhan memang mengisyaratkan "Barang siapa berjalan mendekatiKu maka Aku akan berlari menemuinya". Tapi, berjalan mendekati Tuhan bukan hanya dengan menjalani ritusritus fisik. Ada perintah agar manusia beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati untuk kebenaran, dan nasehat- menasehati agar saling bersabar. Perintah itu jelas menekankan agar dalam keinginan menemukan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia harus tetap dijaga. Kahlil Gibran menulis: "Sering kalian menyanyikan pujaan kepada Tuhan tetapi telingamu tidak mendengarkannya" dan "Jangan kalian mengaku dapat berbicara dengan Tuhan kalau kalian tidak dapat berbicara dan saling memahami di antara tetangga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini