Umar Kayam
TRADISI mudik Lebaran ternyata berkaitan dengan "tradisi-tradisi" lain di negeri kita. Tradisi yang berkaitan dengan mudik Lebaran adalah tradisi dari garis keturunan keluarga jaringan dan tradisi budaya Islami, tradisi "Minalaidin Walfaizin". Kedua tradisi ini telah menyatu dengan uniknya dalam masyarakat kita serta telah menjadi akar sintesa-budaya yang kukuh dan memberinya satu potret-budaya yang, agaknya, khas Indonesia. Mudik Lebaran adalah satu gerak eksodus yang spontan dan imperatif dari warga keluarga jaringan yang tercerai oleh gerak pencarian nafkah, yang diilhami oleh bulan Ramadan, untuk menjalani ibadah puasa yang ditutup dengan Idul Fitri. Warga garis-keturunan yang tercerai oleh gerak perantauan mencari-nafkah, yang kebetulan beragama Islam, yang selalu memendam rasa romantika rindu kepada "markas asal" keluarga jaringan, pada hari-hari Lebaran itu menyisihkan rutin bekerja keras mereka selama beberapa hari, lari kembali ke "markas asal" keluarga jaringan untuk sekali lagi menyatakan kesetiaan dan solidaritas mereka kepada "mereka di sana".
Adapun "tradisi-tradisi" lain yang mengait adalah semacam tradisi yang bukan tradisi sesungguhnya. Maka itu diberi tanda petik. Tradisi mudik Lebaran adalah tradisi sesungguhnya karena dia adalah potret dari suatu dialektika-budaya yang sudah berjalan lama sekali, selama berabad-abad. Sedangkan "tradisi-tradisi" lain yang disebut di sini adalah "keajekan" atau "kebiasaan" yang meskipun sudah berjalan lama, dari orde demi orde, mungkin belum merupakan suatu bagian dari dialektika-budaya. Yang dimaksud dengan "tradisi-tradisi" tersebut adalah pemandangan yang kita lihat yang menyertai hari-hari mudik Lebaran. Dari zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi kita menyaksikan bagaimana rakyat yang harus mudik Lebaran itu selalu dihadapkan kepada kesulitan yang sama. Kesulitan mendapat karcis kereta api dan bus, kesulitan harus berdiri atau duduk antre selama berjam-jam, kesulitan mendapat karcis dengan harga wajar karena dinaikkan secara berlebihan, kesulitan mendapat tempat duduk meski sudah membeli karcis, dan perjalanan mudik itu sendiri tidak selalu berjalan dengan mulus dan lancar karena sering harus ditempuh secara bertahap, sesudah kereta api disambung bus, disambung oplet, dan akhirnya sesudah berjam-jam masih harus beriringan naik ojek ke tempat markas-asal keluarga jaringan. Bagi lapisan rakyat yang mampu, esensi kejengkelan, kecapekan, dan kedongkolan mereka mungkin juga sama. Kemudian kesulitan itu, akhir-akhir ini, ditambah dengan rasa takut dan khawatir akan kemungkinan dirampok dalam kereta api, bus, mobil, dan bahkan juga pesawat udara, dalam perjalanan itu.
Kita merenung kenapa hal-hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan rutin yang penting dan membahagiakan dari rakyat harus menjadi "keajekan" yang menjengkelkan dan sering juga menyedihkan dari rakyat banyak, yang dalam kehidupan sehari-hari mereka belum tentu sedikit mengecap kesenangan selama hari-hari mudik Lebaran itu! Kita menyaksikan bagaimana infrastruktur transportasi dan komunikasi antardaerah sejak kita bertekad membangun suatu negara-kebangsaan belum juga dilaksanakan dengan baik. Jalan-jalan raya, baik yang ada di dalam kota besar dan kecil maupun yang menghubungkan kota-kota, sebagian besar masih jalan-jalan yang diciptakan dan dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan Jalan Besar Pos (de grote Postweg) ciptaan Gubernur Deandels tahun 1808, yang menghubungkan Anyer dan Panarukan, hingga sekarang masih belum banyak mengalami pelebaran dan perbaikan yang drastis. Bahkan di beberapa daerah pesisir utara Jawa masih terdapat wajah-wajah yang mendekati wajah asli jalan Deandels itu. Rel kereta api, sebagian terbesar, masih rel kereta api yang dibangun pemerintah Hindia Belanda juga. Pengembangan dan penambahan jalan-jalan kereta api beserta jumlah kereta apinya masih belum cukup dikerjakan oleh Republik Indonesia. Benar sekarang Perumka dengan bangga memperkenalkan Turangga dan Dwipangga, kereta api kilat yang mewah dan ekstracepat yang dapat menghubungkan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Solo. Tapi berapa harga karcisnya dan bagaimana cara mempercepat jalan kereta api kilat itu, yang konon dengan menyilakan kereta-kereta api yang "trutuk" dan "bumel" minggir dulu. Sementara itu berapakah jumlah tambahan kereta api buat rakyat kecil, yang penumpangnya pada bergelantungan di bordes-bordes gerbong itu?
Renungan tentang infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk sementara baru kita batasi kondisi di Pulau Jawa. Kita belum lagi berbicara di luar Pulau Jawa. Sementara kita berseru tentang negara Pancasila dari Sabang sampai Merauke ditambah Dili. Begitu miskin sumber pembiayaan dan imajinasi manajemen dan teknologi kita, tidak mampu merealisasi pembangunan infrastruktur transportasi dan komunikasi buat kesejahteraan rakyat banyak. Bahkan juga infrastruktur kesejahteraan rakyat yang lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan penyediaan pangan. Atau sudah begitu parahkah kondisi korupsi dan kolusi dalam serat tubuh pemerintah dan birokrasi kita? Saya teringat pada bulan-bulan pertama tahun 1945, saya ikut hadir dalan satu rapat raksasa di alun-alun Kota Solo. Waktu itu saya masih duduk di kelas dua SMP, hadir di tengah ribuan rakyat yang sangat ingin mendengarkan wejangan para bapak pendiri negara kita, our founding fathers. Bung Karno tampil di mimbar. Kita semua bertepuk tangan dan bersorak gegap-gempita. Kemudian Bung Karno mengajari kita, rakyat dari semua lapisan hadir, untuk menirukan beliau mengucapkan keras-keras dalam bahasa Inggris, untuk ditujukan kepada dunia internasional. Kita berseru: All is Running Well, All is Running Well, All is Running....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini