Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mendokumentasikan Megakoleksi Bung Karno

Pada 1956, terbit dua jilid buku koleksi Presiden Sukarno alias Bung Karno dengan judul Lukisan-lukisan Koleksi Ir. Dr. Sukarno.

2 Agustus 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Dermawan T.
Penulis buku Dari Lorong-lorong Istana Presiden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1956, terbit dua jilid buku koleksi Presiden Sukarno alias Bung Karno dengan judul Lukisan-lukisan Koleksi Ir. Dr. Sukarno. Pencetak dan penerbitnya adalah Pustaka Kesenian Rakyat Tiongkok, Peking. Meski buku itu belum sempurna, Bung Karno cukup puas atas buku yang disunting oleh Dullah, pelukis Istana Presiden, itu. Maka, pada 1961, terbit lagi tiga jilid buku. Jilid ketiga dan keempat tetap berisi lukisan, tapi jilid kelima berisi karya tiga dimensi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejalan dengan waktu, koleksi sang presiden bertambah. Pada suatu waktu ia berkata kepada Lee Man Fong, pelukis yang menggantikan Dullah, agar buku koleksinya diterbitkan ulang dengan perbaikan dan penambahan. "Buku ini untuk dokumentasi, yang kelak berguna untuk bangsaku," kata Bung Karno, yang mengoleksi karya seniman besar Indonesia dan dunia, dari Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan, hingga Walter Spies, Diego Rivera, Tsi Phai-She, W. Russel Flynt, Makovsky, Strobl, dan Manizer.

Pada 1964, terbitlah buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno dari Republik Indonesia yang diterbitkan oleh Panitia Penerbitan Lukisan dan Patung Koleksi Presiden Sukarno serta PT Topan, Tokyo. Pada 1965, buku yang disunting oleh Lee Man Fong ini terbit dalam versi Cina. Buku yang ikonik ini baru memuat sekitar 550 benda seni koleksi Sukarno, padahal Sukarno punya setidaknya 2.200 sampai 2.500 koleksi, yang menurut Tim Uji Petik 2013, sebagaimana dilaporkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, bernilai hampir Rp 2 triliun.

Selama Orde Baru, koleksi Bung Karno di Istana Kepresidenan dipelihara sebisa-bisanya oleh lembaga yang dibentuk Istana Kepresidenan. Namun harus diakui bahwa kedekatan sebuah lembaga, dengan keterbatasan wewenang dan anggaran, berbeda dengan kecintaan pemilik koleksi.

Megawati Soekarnoputri memahami lika-liku nasib benda seni koleksi ayahandanya. Dari situ muncullah ide pendokumentasian untuk seluruh koleksi itu dalam enam jilid buku berjudul Singgasana Seni. Ide besar ini telah disiapkan pada 2004, ketika Megawati menjadi presiden. Proyek ini sempat dibekukan, tapi kemudian dilanjutkan kembali pada 2018 dan ditargetkan selesai pada akhir Agustus ini.

Namun, setelah 15 tahun, situasi dan kondisi koleksi Bung Karno sering tidak terintip. Kelengahan ini mengakibatkan sejumlah masalah. Puluhan lukisan rusak ringan dan berat. Banyak lukisan, patung, dan keramik hilang. Banyak data dan cerita koleksi hilang dari arsip. Akibatnya, tim redaksi buku itu harus melakukan penelitian yang luas dan mendalam untuk keakuratan data.

Tapi kerja besar tim itu bukannya tidak mungkin tercapai apabila setidaknya melakukan berbagai upaya berikut ini. Pertama, menerima masukan dari para pakar seni yang pernah dekat dengan koleksi Bung Karno. Kedua, melibatkan sejarawan seni yang memahami koleksi Bung Karno. Ketiga, mengajak para ahli forensik seni rupa untuk mendeteksi tarikh lukisan. Keempat, melibatkan para pengurus koleksi benda seni Istana Kepresidenan dari berbagai era. Adapun keluarga Bung Karno tentu menjadi kunci karena dari merekalah "referensi tutur" atau "arsip tutur" bisa didapatkan. Selain itu, tim redaksi dapat menaruh data seni yang samar atau gelap di situs khusus atau media sosial agar bisa direspons, diidentifikasi, dan diungkap oleh siapa pun yang mengetahui.

Menyusun data yang akurat dari ribuan koleksi seni Bung Karno memang bukan pekerjaan yang gampang. Bahkan Dullah, ketika dulu menyusun buku koleksi Bung Karno, sudah menemui sejumlah kesulitan, meskipun hampir semua senimannya masih hidup dan koleksinya masih kinyis-kinyis.

Bila buku ini nanti terbit, masyarakat Indonesia dan dunia bisa mengetahui bagaimana Bung Karno menjadi kolektor seni terbesar di dunia sebelum 1966. Dialah patron seni yang tiada bandingannya. Dia juga merupakan satu dari sedikit presiden di dunia yang sangat memahami seni.

Dokumentasi besar itu juga bisa menjadi acuan keaslian karya seni karena selama lebih dari 40 tahun, koleksi Bung Karno, yang sebagian besar tidak tersosialisasi reproduksinya, sering menjadi bahan alibi para pemalsu. Buku itu nanti dapat mencegah pencurian koleksi, seperti yang terjadi berkali-kali pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru.

Buku itu juga akan mengabsahkan dan menegaskan kepemilikan suatu karya: mana yang masih menjadi koleksi Bung Karno, yang notabene koleksi Istana Kepresidenan, dan mana yang sudah menjadi koleksi pribadi keluarga Bung Karno, dari Hartini, Guruh Soekarnoputra, sampai Ratna Sari Dewi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus