Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebijakan penanganan pandemi pemerintah cenderung reaktif dan tak berbasis data.
Ekstrapolasi dan simulasi data seharusnya menjadi tumpuan kebijakan pandemi Covid-19.
Inggris, misalnya, memutuskan hidup bersama virus dengan mencabut karantina dan tak mewajibkan pemakaian masker.
PANDEMI Covid-19 sepertinya tak membuat pemerintah Indonesia belajar bagaimana seharusnya membuat kebijakan publik yang efektif. Setelah memasuki tahun ketiga, upaya penanganan wabah masih reaktif dan tambal sulam. Pemerintah tak pernah tegas melindungi masyarakat dari ancaman infeksi dengan kebijakan yang saintifik dan berbasis data.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lihat saja bagaimana penanganan Omicron, varian terbaru virus corona. Para pejabat pemerintah lebih sering memberikan imbauan kosong berupa seruan menerapkan protokol kesehatan seraya bolak-balik membuat aturan yang membingungkan. Di tengah angka infeksi Covid-19 yang terus naik, tak ada kebijakan tegas menjalankan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah pusat terlalu sering mendelegasikan keputusan menangani pandemi kepada pemerintah daerah. Akibatnya, tiap daerah punya kebijakan berbeda-beda, misalnya dalam urusan menutup dan membuka sekolah. Namun, ketika pemerintah daerah meminta izin menutup sekolah karena Omicron kian banyak menyasar siswa, pemerintah pusat malah menolaknya.
Keputusan menutup dan membuka sekolah kerap kali bersifat reaktif. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, membuka kembali sekolah pada 3 Januari 2022. Kala itu, angka kasus infeksi harian di Ibu Kota memang jauh di bawah 100. Tapi kebijakan yang hanya berpijak pada data penurunan angka infeksi saja tidaklah solid. Sebab, ketika sekolah mulai dibuka, vaksinasi dosis pertama untuk anak di bawah umur 12 tahun belum sampai 40 persen.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah memberikan panduan bahwa kekebalan massal akan terbentuk jika 70 persen anggota komunitas sudah mendapatkan dua dosis vaksin. Bila ingin lebih yakin, pemerintah DKI seharusnya memadukan data vaksinasi dengan data siswa yang memiliki keluarga dengan penyakit penyerta (komorbid). Sebab, meski tak sefatal varian Delta, gempuran Omicron bagi penderita komorbid bisa mematikan.
Di banyak negara, perpaduan data seperti itu menjadi basis membuat kebijakan penanganan pandemi. Itu pula yang dilakukan pemerintah Inggris ketika, pada 21 Januari 2022, mereka mengumumkan pencabutan karantina wilayah dan kewajiban memakai masker. Pada hari itu 90 persen penduduk Inggris sudah mendapatkan vaksin dosis ketiga, jumlah kasus infeksi tidak sedang melonjak, dan tingkat okupansi rumah sakit sedang melandai.
Memang, kebijakan pemerintah Inggris itu pun mencemaskan. Tapi setidaknya mereka punya basis argumen yang kokoh. Para ilmuwan sudah menyimpulkan kemampuan infeksi varian baru Covid-19 makin lemah sepanjang manusia memiliki antibodi yang kuat. Dengan adanya kebijakan publik yang jelas, terukur, dan berbasis data seperti itu, penduduk Inggris lebih percaya diri hidup berdampingan dengan virus corona.
Di Indonesia, kebijakan pandemi kerap merupakan reaksi atas kejadian temporer, bukan berdasarkan data jangka panjang. Sekarang pemerintah hendak menyetop pembelajaran tatap muka karena sekolah menjadi pusat penyebaran Covid-19. Tapi, pada saat yang sama, pemerintah membiarkan mal buka, restoran mengizinkan kumpul-kumpul, dan Presiden Joko Widodo terus berkeliling ke banyak daerah.
Setelah 145 ribu orang kehilangan nyawa akibat Covid-19, pemerintah masih menyia-nyiakan pelajaran penting untuk membuat kebijakan publik yang benar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo