Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi Medan mengincar penjual narkoba dengan cara menyamar sebagai pembeli.
Setelah penjual dicokok, barang bukti narkoba ternyata garam dan gula.
Bagaimana menangani kasus penipuan yang dijerat memakai Undang-Undang Narkotika ini?
PENEGAK hukum tak kurang stok bahan lelucon. Kali ini dari Kota Medan, Sumatera Utara. Anggota kepolisian di daerah ini yang menyamar untuk menyelidiki jual-beli narkotik mendapati sasaran mereka “memalsukan” dagangannya dengan garam dan gula. Alih-alih membatalkan operasi gagal ini, kepolisian menjerat sang “bandar palsu” dengan Undang-Undang Narkotika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita berawal dari informasi yang diperoleh Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Kota Besar Medan tentang adanya bandar sabu dalam jumlah besar. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, petugas lalu menyamar buat mendapatkan barang bukti. Dua orang menjadi target mereka: Diki Zulkarnaen, 40 tahun, dan Septian Wili Perdana, 24 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas yang menyamar menghubungi kedua sasaran, lalu mengatur jadwal transaksi. Mereka sepakat bertemu di satu rumah di kawasan Medan Area pada 24 Januari 2022. Ini hasil operasi besar, kelas kakap. Menurut polisi, Diki mengeluarkan tas hitam berisi “teh merek Cina”, yang lazim digunakan untuk kemasan narkotik jenis sabu. Petugas menyita tiga kilogram serbuk “sabu” itu.
Jika benar, hasil tangkapan ini jelas prestasi besar dan bakal menutup wajah buruk kepolisian Medan. Mereka baru saja diterpa kasus suap dari bandar narkotik. Dalam sidang kasus kepemilikan narkoba oleh anggotanya, terungkap suap Rp 300 juta yang mengalir ke sejumlah pejabat. Kepala Polresta Medan Komisaris Besar Riko Sunarko dicopot dari jabatannya karena disebut menerima Rp 75 juta, bagian dari suap itu.
Kenyataannya, bukan tanda prestasi yang didapat. Kepolisian Medan mendapati anggotanya justru masuk jebakan “bandar narkoba”. Setelah melalui uji di Laboratorium Forensik, tiga kilogram serbuk yang disangka sabu rupanya campuran garam dan gula. Menurut polisi, kedua pelaku telah empat kali menjual sabu alias gula-garam yang merupakan bahan obat diare, oralit. Namun, seperti kepalang tanggung, polisi menetapkan Diki dan Septian sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Narkotika. Alasannya, hasil tes urine menunjukkan keduanya menggunakan bahan adiktif itu.
Menurut Hadi Wahyudi, meski tak terbukti menjadi bandar, kedua tersangka akan dijerat dengan pasal narkoba. Mereka dikenai pasal 114 ayat 2 yang mengatur sanksi buat kegiatan menawarkan untuk menjadi penjual, pembeli, penerima, atau perantara narkotik dengan hukuman minimal enam tahun penjara. Walhasil, Diki dan Septian akan didakwa menjual narkoba walau kenyataannya garam dan gula.
Sangkaan itu memang lumayan ajaib. Kejaksaan semestinya menolak berkas perkara yang disusun kepolisian. Sebab, barang bukti yang didapat jelas bukan barang adiktif. Kalaupun menjadi kasus hukum, Diki dan Septian hanya bisa disangka melakukan penipuan. Walau sebenarnya penipuan yang mereka lakukan boleh disebut “positif” karena menghindarkan calon “kastemer” dari bahaya narkotik.
Jika diteruskan hingga pengadilan, bayangkan, jaksa akan menyampaikan di depan majelis hakim, “Yang Mulia, kami hadirkan terdakwa perkara narkotik dengan barang bukti garam dan gula.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo