Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kekeliruan pemerintah justru membuat krisis minyak goreng berkepanjangan.
Pemakaian dana sawit untuk subsidi biodiesel malah difasilitasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Pungutan pajak ekspor sawit bisa dialokasikan untuk subsidi minyak goreng keluarga tak mampu.
BERBAGAI langkah yang diterapkan Kementerian Perdagangan untuk menurunkan harga minyak goreng menunjukkan kelemahan mereka dalam mendiagnosis akar persoalan. Alih-alih menurunkan harga, kekeliruan pemerintah justru membuat krisis jadi berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Sabtu, 5 Februari lalu, harga komoditas ini masih di kisaran Rp 20 ribu per liter. Untuk menjinakkan harga, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sudah mengatur harga eceran tertinggi sejak sepekan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah ini sepintas bisa melindungi konsumen dari impitan harga. Kenyataannya, intervensi pemerintah malah memicu kelangkaan pasokan. Di tengah harga yang masih tinggi, produsen tidak berani menjual barang ke pasar karena takut rugi. Inilah yang terjadi ketika ongkos barang dan jasa dipatok di bawah harga keseimbangan: jumlah permintaan melebihi pasokan. Kalaupun kebijakan ini berhasil meredam harga, sifatnya hanya sementara.
Sejumlah studi menunjukkan, kontrol harga di sebuah sistem ekonomi terbuka merupakan perbuatan sia-sia bahkan menciptakan inefisiensi pasar. Buntutnya: konsumen jadi korban. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa mengurangi laju investasi, menurunkan kualitas barang, serta menciptakan pasar gelap. Pengaturan harga, yang disertai operasi pasar, juga kerap menimbulkan kekacauan karena menjadi pemicu kongkalikong.
Pemerintah berupaya mengatasi krisis minyak goreng dengan memberlakukan kebijakan satu harga. Dengan cara ini, produsen diminta menjual minyak goreng Rp 14 ribu per liter. Selisih harga keekonomian dengan harga yang dilepas ke konsumen ditambal dari pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Strategi ini terbukti gagal.
Langkah pemerintah mewajibkan perusahaan sawit menyisihkan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri juga tak menjawab persoalan. Apalagi ekspor minyak sawit bukan biang keladi kenaikan harga minyak goreng. Volume ekspor minyak kelapa sawit hanya naik tipis dari 34 juta ton pada 2020 menjadi 34,2 juta ton sepanjang 2021. Dengan angka produksi yang relatif tidak berubah, tidak ada persoalan dalam pasokan dalam negeri.
Lalu apa penyebab harga minyak goreng jadi mahal? Yang luput dari perhatian adalah adanya pergeseran konsumsi minyak sawit nasional. Di masa lalu, sebagian besar minyak sawit dibutuhkan untuk bahan baku minyak goreng. Sejak pemerintah menerapkan program mandatori biodiesel, konsumsi minyak sawit untuk campuran solar naik tajam. Sebaliknya, konsumsi minyak sawit mentah (CPO) untuk industri pangan, termasuk bahan baku minyak goreng, justru turun.
Pengusaha rupanya lebih senang menyalurkan minyak sawit ke pabrik biodiesel karena ada subsidi bila harga dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Tahun lalu, dari pungutan ekspor sebesar Rp 71,6 triliun, dana sawit yang mengalir ke program biodiesel mencapai Rp 51,8 triliun. Artinya, pungutan ekspor dari perusahaan sawit sebagian besar masuk kembali ke kantong perusahaan.
Masalahnya, aliran subsidi itu menyimpang dari peruntukan awal. Menurut Undang-Undang Perkebunan, dana yang terkumpul hanya boleh dipakai untuk peremajaan kebun, riset, promosi, dan pengembangan sumber daya. Alih-alih menegakkan aturan, pemerintah malah mengalokasikan dana sawit untuk kegiatan sektor hilir perusahaan, termasuk subsidi biodiesel. Akal-akalan ini bisa dilakukan karena difasilitasi Undang-Undang Cipta Kerja—aturan yang terbukti dirancang hanya untuk melayani kepentingan korporasi besar.
Lebih dari itu, kebijakan ini menyalahi prinsip pokok pengelolaan keuangan negara. Pungutan ekspor sawit semestinya diperlakukan sebagai pendapatan negara yang masuk ke kas negara. Dari pungutan itu, pemerintah dapat mengalokasikan subsidi minyak goreng untuk keluarga tak mampu melalui sistem kesejahteraan sosial, semisal bantuan langsung tunai.
Sepanjang dipungut dan dikelola dengan transparan, penambahan komponen minyak goreng dalam bantuan langsung tunai akan membuat publik memiliki daya beli. Selanjutnya, harga bisa kembali mencapai keseimbangan tanpa pemerintah mengontrol harga atau menerbitkan kebijakan yang hanya menguntungkan korporasi besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo