Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengapa Mega Menolak Datang

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIKAP reaktif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atas rencana Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil Megawati Soekarnoputri dalam perkara skandal cek pelawat terasa sangat janggal. Partai ini terkesan begitu kuat berusaha agar kaki ketua umumnya tidak menginjak lantai gedung komisi antikorupsi itu. Orang melihat Partai Banteng kurang menyokong gerakan pemberantasan korupsi dengan ”pagi-pagi” menyatakan Megawati tak akan memenuhi panggilan Komisi. Bahkan sejumlah pengurus partai seakan mengambil oper tugas KPK dengan buru-buru menyatakan Mega tak ada kaitannya dengan perkara rasuah ini.

Alasan menghadirkan bos Partai Banteng itu sebenarnya cukup kuat. Max Moein meminta pemimpin tertingginya itu menjadi saksi yang meringankannya. Seperti belasan rekannya anggota PDI Perjuangan yang dulu duduk di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Max menjadi tersangka kasus cek pelawat. Ia diduga menerima suap berupa cek Rp 500 juta sebagai imbalan memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Alasan Max, uang yang diterimanya merupakan uang partai dan telah digunakan untuk kampanye mendukung Megawati dalam pemilihan presiden 2004.

Megawati semestinya tak menampik permintaan Max. Bila para pemimpin PDI Perjuangan beranggapan kasus ini terlalu jauh hubungannya dengan ketua umum mereka, Mega bisa menjelaskannya di KPK. Jelas kehadiran Mega di KPK akan dipolitisasi lawan politik mereka, tapi penghormatan kepada hukum seharusnya menjadi prioritas.

Sebagai pemimpin partai besar, Megawati justru harus menunjukkan diri juga patuh kepada hukum, menomorsatukan hukum di atas segalanya. Sebagai saksi meringankan, ia memang punya hak menolak permintaan itu. Tapi ia bisa disangka meninggalkan anak buah di saat sulit. Bukankah ini juga bisa dipakai lawan politik untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan seorang ketua partai? Sikap Mega ini bisa menjadi bumerang. Para kader PDI Perjuangan bisa berpandangan pemimpin mereka ternyata bukanlah tipe yang segera berdiri mati-matian membela anak buah.

Ketidakhadiran Megawati juga menyulitkan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan keterangan perihal asal-usul cek pelawat. Sejauh ini, asal-muasal cek itu memang masih gelap. Saksi penting yang disebut-sebut sebagai ”koordinator” pembagian cek ke DPR, Nunun Nurbaetie, tak diketahui keberadaannya.

Sebagai partai yang memiliki anggota terbanyak di Komisi Keuangan, PDI Perjuangan memiliki peran penting mengegolkan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004. Hanya, belakangan diketahui lewat pengakuan Agus Condro, dukungan ini rupanya tak gratis. Sebanyak 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar digelontorkan kepada 41 anggota Komisi Keuangan—delapan belas di antaranya anggota PDI Perjuangan—atas jasa mereka memenangkan Miranda.

Kendati Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan memiliki data siapa saja penerima cek dan siapa yang mencairkannya, kita tahu tidak semua penerima mengakui menerima cek tersebut. Ini memang jurus paling mudah untuk menghindari dakwaan menerima suap. Panda Nababan, misalnya, tetap berkeras tak pernah menerima cek senilai Rp 1,45 miliar. Adapun Emir Moeis membantah pembagian cek dilakukan di ruang kerjanya. Baru belakangan, saat didesak hakim, Emir mengakui pembagian cek itu memang dilakukan di ruang kerjanya di DPR.

Melihat betapa licinnya para politikus ini berkelit, Komisi Pemberantasan Korupsi harus bekerja ekstrakeras mengumpulkan bukti telak agar para politikus tak banyak membuat ”kejutan” di depan meja hijau. Komisi bahkan juga perlu menelisik kebenaran berita bahwa cek pelawat hanya mengalir ke kantong anggota PDI Perjuangan. Harus dipastikan dana itu tak masuk kas partai atau pucuk pimpinan partai.

Ini penting karena tidak mustahil para penyuap pun bermain di tingkat atas. Jika ini benar, bisa dibayangkan betapa besar uang yang dikucurkan sang penyuap. Mungkin tak sebanding dengan jumlah yang diterima anggota Komisi Keuangan sekelas Agus Condro atau Dudhie Makmun Murod.

Jika kemudian fulus untuk memenangkan Miranda itu masuk kas partai, akibat politiknya tak kalah gawat. PDI Perjuangan bisa dinyatakan melanggar hukum. Sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik, dana partai politik hanya bisa diperoleh dari sumbangan yang sah secara hukum.

Di sinilah pentingnya kesaksian Megawati. Dia perlu mengklarifikasi banyak hal yang berkaitan dengan urusan cek pelawat ini. Jelas tak mungkin instruksi memilih Miranda tak diketahui Mega sebagai ketua umum partai. Hadir memenuhi panggilan KPK bukanlah aib. Langkah itu bahkan menunjukkan penghormatan pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Bila yakin tak terlibat urusan cek pelawat, memenuhi panggilan KPK adalah pilihan paling masuk akal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus