Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNDURNYA Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe dari posisi Kepala dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara membuka tabir kisruhnya pembangunan ibu kota negara. Kibang-kibut yang belakangan terungkap membuktikan buruknya perencanaan dan proses pembangunan kawasan itu. Majalah ini sejak awal menolak IKN karena gunungan persoalan yang melatarinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang mendasar, partisipasi publik dalam kebijakan pemindahan ibu kota tersebut sangat minim. Sejak digaungkan Presiden Joko Widodo pada 2019, kajian pemerintah atas rencana tersebut tak pernah dibuka secara luas. Pemerintah juga tak memberi penjelasan memadai kenapa Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur yang dipilih sebagai ibu kota baru kecuali karena letaknya di tengah-tengah peta Indonesia.
Ketidaklayakan proyek bisa dilihat, misalnya, dari aspek geologi lokasinya. Nun di bawah permukaan tanah calon ibu kota mengendap batu bara yang menyebabkan lokasi ini bakal kesulitan mendapat pasokan air tanah, selain sebagian wilayahnya mudah terbakar. Tahun lalu, sejumlah tambang batu bara ilegal di sekitar IKN terpantau oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika merupakan titik panas. Sebagian wilayah di dalam kawasan IKN juga berpotensi menyemburkan gas dangkal.
Pembentukan undang-undang yang menjadi payung pembangunan IKN pun berlangsung kilat dan tertutup. Memang pernah ada konsultasi publik, seperti yang digelar di Universitas Mulawarman, Samarinda, tapi pelaksanaannya berlangsung sembunyi-sembunyi. Konsultasi dilakukan sekadar untuk mendapatkan stempel bahwa proses formal telah dilakukan. Tak tampak ada niat untuk menerima masukan publik.
Meninggalkan Jakarta dengan segudang persoalannya merupakan langkah yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih mencari solusi atas sejumlah masalah Jakarta—seperti kemacetan dan banjir—Jokowi mencari ibu kota baru semata untuk meninggalkan legasi di akhir pemerintahannya.
Pembangunan dilakukan dengan grasah-grusuh. IKN, misalnya, dibangun pada 2022, ketika pandemi Covid-19 belum surut. Alih-alih menghemat anggaran untuk membiayai penanggulangan dampak pagebluk, uang negara malah dipakai buat membiayai proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung menggerakkan perekonomian.
Hingga akhir tahun ini, Jokowi akan menghabiskan Rp 71,8 triliun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara buat IKN. Dana ini untuk membangun istana negara, kantor presiden, kantor pemerintahan, rumah menteri dan rumah susun buat aparatur sipil negara, serta sejumlah infrastruktur dasar. Awalnya Jokowi sesumbar IKN tak akan menggunakan duit negara. Ujung-ujungnya APBN mengocor pula.
Jokowi mengalokasikan Rp 90,4 triliun APBN atau sekitar 20 persen dari total kebutuhan pembangunan IKN yang mencapai Rp 466 triliun. Sisanya disebut-sebut akan didanai oleh investasi swasta Rp 123,2 triliun dan kerja sama pemerintah dengan badan usaha Rp 252,5 triliun. Nyatanya, dana swasta seret. Meski Jokowi sudah menggelar karpet merah, investasi asing tak kunjung datang. Kalaupun ada yang tertarik, itu juga baru dalam bentuk komitmen.
Walhasil, dua bulan menjelang 17 Agustus 2024, IKN masih centang perenang. Semula Jokowi menargetkan upacara kemerdekaan pada tahun ini dilaksanakan di ibu kota negara yang baru. Untuk menyelamatkan muka karena banyaknya fasilitas yang belum kelar dan mungkin baru segelintir pegawai pemerintah pindah ke sana, upacara kemerdekaan akan dilangsungkan secara hibrida di IKN dan di Jakarta.
Berbagai kekacauan tersebut merupakan buah buruknya manajemen proyek ini—dari perencanaan hingga pengawasannya. Dengan target yang muluk tapi waktu pengerjaan yang terbatas, siapa pun pelaksana pembangunan akan dibuat termehek-mehek. Apalagi anggaran pembangunan Otorita IKN menempel di instansi lain: anggaran pembangunan dikekap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta pengadaan lahan dipegang Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kusut masainya soal anggaran dan otoritas pelaksanaan pembangunan membuat pegawai Otorita tak digaji hingga beberapa bulan.
Pemerintahan baru Prabowo Subianto, yang akan berkuasa mulai Oktober 2024, harus menghentikan IKN. Pernyataannya dalam Qatar Economic Forum di Doha, 15 Mei 2024, memberi isyarat bahwa ia akan mengambil strategi berbeda dibanding pendahulunya. Katanya, IKN merupakan proyek politis dan karenanya harus dibiayai sumber daya dalam negeri. Mengandalkan anggaran negara yang terbatas, pembangunan IKN tentu akan memakan waktu yang tak sebentar.
Kekuasaan Jokowi sudah hampir selesai. Tak semestinya Prabowo membawa kekacauan kebijakan Jokowi ke era pemerintahannya.