Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INISIATIF warga Internet menggaungkan gerakan “All Eyes on Papua” layak mendapat apresiasi. Poster dan tagar “All Eyes on Papua” yang viral di media sosial X dan Instagram itu merupakan solidaritas publik terhadap suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya. Kedua suku ini tengah berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman korporasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan “All Eyes on Papua” menunjukkan kekuatan masyarakat sipil dalam memanfaatkan media sosial. Kampanye ini berawal dari seorang kreator dan desainer di X, dengan akun gandawakstra_, yang membuat poster terinspirasi dari “All Eyes on Rafah”. Pandhu Taryono, sang kreator, tergerak oleh keprihatinan terhadap isu-isu di Papua, terutama perjuangan masyarakat adat marga Woro—bagian dari suku Awyu—dan subsuku Moi Sigin yang menggelar unjuk rasa di halaman gedung Mahkamah Agung pada 27 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perwakilan suku Awyu di Jakarta menuntut MA memulihkan hak-hak mereka yang terampas melalui putusan tingkat kasasi. Mereka menolak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado yang mementahkan gugatan terhadap Pemerintah Provinsi Papua—yang memberikan izin pembukaan lahan seluas 36.094 hektare untuk PT Indo Asiana Lestari. Putusan dua pengadilan itu pantas dipersoalkan karena tak berpihak pada keadilan lingkungan dan hak masyarakat adat.
Baca Juga:
Kampanye “All Eyes on Papua” membangkitkan perhatian publik pada perjuangan suku Awyu yang hampir tiga tahun terabaikan. Poster dan tagar yang menggambarkan mata mengintip di celah sobekan foto udara hutan Papua itu kini telah mendapat dukungan 3 juta lebih pengguna media sosial. Pada saat yang sama, petisi “MA Cabut Izin PT Indo Asiana Lestari” di situs Change.org juga mendapat dukungan signifikan, dengan lebih dari 224 ribu tanda tangan yang terkumpul.
Gerakan seperti ini tidak boleh berhenti pada jumlah tanda tangan petisi semata. Kasus suku Awyu hanyalah puncak gunung es dari banyak masyarakat adat yang mengalami nasib serupa. Subsuku Moi Sigin, yang juga berdemo di MA, masih berjuang melawan PT Sorong Agro Sawitindo yang telah membabat 18.160 hektare hutan adat mereka untuk perkebunan sawit.
Deforestasi di Papua, yang memiliki hutan alam terbesar di Indonesia, jelas merupakan ancaman besar. Laporan “Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua” oleh Yayasan Auriga Nusantara pada 2021 mengungkap, dalam dua dekade terakhir, tutupan hutan Papua menyusut lebih dari 663 ribu hektare. Deforestasi hutan adat di Papua melepaskan 25 juta ton setara karbon dioksida ke atmosfer dan memperparah krisis iklim yang mengancam negeri ini.
Munculnya “All Eyes on Papua” adalah terobosan dari masyarakat sipil untuk mendorong perubahan di tengah kondisi hukum yang tidak ideal. Pemerintah dan MA harus merespons dukungan ini dengan serius. Tegakkan keadilan lingkungan dan iklim, yang tak hanya penting bagi suku Awyu dan Moi, tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Agar pemerintah dan MA tidak “main mata” dengan pengusaha, “semua mata” sudah sepantasnya tertuju pada Papua, juga Jakarta.