Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proyek ibu kota negara berpotensi besar gagal karena tanpa perencanaan yang matang.
Proyek mercusuar ini terkesan hanya melayani keinginan Presiden Jokowi meninggalkan warisan besar setelah tak menjadi presiden.
Para pembantunya tak ada yang mengingatkan, persis dongeng raja telanjang gubahan H.C. Anderson.
PEMINDAHAN ibu kota negara menjadi perjudian terbesar Presiden Joko Widodo dalam dua tahun terakhir pemerintahannya. Proyek ambisius ini dijalankan tanpa perhitungan matang, dipaksakan pada waktu tak tepat, dan bisa saja berujung kegagalan. Bila kemungkinan buruk itu terjadi, bukan hanya Jokowi dan para menterinya yang menanggung risiko, tapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tanpa hambatan Undang-Undang Ibu Kota Negara disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, Jokowi bergegas mencari calon kepala badan otorita pengelola pusat pemerintahan yang diberi nama Nusantara itu. Secara terbuka, Jokowi pernah menyatakan ingin calon berlatar belakang arsitek dan pernah menjadi kepala daerah. Pembahasan figur calon pemimpin kota baru itu seolah-olah menutup masalah substansial pemindahan ibu kota negara yang sebenarnya belum terjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemindahan ibu kota negara jelas tidak berbasis kajian ilmiah yang teruji. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) berlangsung supercepat dan minim partisipasi publik. Tak ada perdebatan terbuka yang memungkinkan orang ramai menguji rencana pemerintah. Mayoritas anggota Dewan yang dikuasai partai penguasa hanya mengangguk-angguk pada usul pemerintah.
Sejak awal, argumentasi perlunya pemindahan ibu kota hanya berupa klaim-klaim dan janji kemakmuran. Misalnya, pemerintah beralasan ibu kota negara perlu pindah karena Jakarta tak sanggup lagi menampung pertumbuhan penduduk, makin rawan banjir, dan tanahnya terancam ambles. Presiden juga pernah mengatakan proyek ibu kota negara berbiaya sekitar Rp 501 triliun itu akan memakai dana dari investor swasta.
Nyatanya, kabar para investor itu tak kunjung jelas. Belakangan, pemerintah mengakui akan menggunakan anggaran negara—termasuk dana pemulihan ekonomi nasional yang limbung digebuk pandemi Covid-19—untuk membiayai persiapan pemindahan ibu kota. Klaim serupa pernah dipakai Jokowi ketika membangun kereta cepat Jakarta-Bandung, yang pada akhirnya disuntik dana negara setelah biayanya terus membengkak.
Pemerintah dan DPR bisa saja mengubah alokasi anggaran untuk kondisi yang sangat mendesak. Tapi sama sekali tak ada urgensi memindahkan ibu kota. Apalagi bila dompet negara sedang cekak dan biaya untuk memindahkan ibu kota berasal dari utang. Itu jelas keputusan yang tak bertanggung jawab karena akan sangat membebani generasi yang akan datang.
Sejak awal, rencana memindahkan ibu kota terkesan hanya memenuhi ambisi Jokowi untuk meninggalkan “warisan hebat”, setelah kelak tidak lagi menjadi presiden. Apalagi rencana ini muncul tiba-tiba beberapa saat setelah Jokowi memenangi pemilihan presiden pada periode keduanya. Ia bahkan tak pernah menyebutkan satu pun kalimat soal rencana besar ini pada saat kampanye. Dalam situasi krisis parah setelah dua tahun dihantam pandemi, pemindahan itu bahkan seolah-olah berangkat dari “delusions of grandeur” alias khayalan tentang hal-hal besar, tanpa berpijak pada realitas.
Sebagai pemimpin yang mengawali karier politiknya dari bawah, Jokowi seharusnya lebih membumi dalam menakar kebutuhan rakyatnya. Apalagi sejarah kegagalan banyak negara lain yang berencana memindahkan ibu kotanya dengan gampang bisa dipelajari. Contoh paling dekat adalah Myanmar, yang memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw. Kota baru yang memiliki segala fasilitas kota modern itu kini menjadi kota hantu.
Sebelum terlambat, para pembantu Jokowi seharusnya berani mengingatkan Presiden. Menteri Keuangan Sri Mulyani, misalnya, perlu jujur mengatakan tak ada anggaran untuk proyek mercusuar. Memang, mengutip pernyataan Jokowi pada 2019, “tidak ada visi menteri, yang ada hanya visi presiden”. Namun para pembantu presiden mesti bertanggung jawab untuk memastikan keputusan presiden diambil dengan benar.
Jangan sampai orang-orang dekat Jokowi hanya bisa mengangguk karena takut dianggap tidak setia. Jika itu yang terjadi, kita sedang melihat versi nyata dongeng gubahan H.C. Andersen tentang raja telanjang. Dalam cerita itu, semua pembantu bertepuk tangan memuji sang raja yang nyaris telanjang karena ditipu perancang busana. Mereka menyebut raja memakai baju sangat indah karena takut dihukum. Akhirnya, hanya anak-anak yang jujur menyebut raja tak mengenakan busana apa pun. Sang raja menyadari dibohongi perancang busana setelah semuanya terlambat.
Kita tak ingin cerita khayalan itu menjadi nyata di ibu kota negara Nusantara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo