DENGAN demokrasi yang kini sangat diwarnai oleh peran dominan lembaga legislatif, dalam setiap kebijakannya—terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak—pemerintah dituntut agar dengan cermat memperhitungkan risiko-risikonya. Yang juga perlu diingat adalah dinamika masyarakat yang kini tersalur dalam sikap vokal terhadap policy pemerintah yang tidak mengakomodasi aspirasi dan kepentingan mereka. Rakyat sudah semakin cerdas, mulai menyadari hak-haknya, dan tidak bisa lagi didikte harus begini dan begitu.
Mungkin dalam menyikapi tarif listrik--yang naik secara otomatis setiap tiga bulan—konsumen belum bersuara lantang karena yang dihadapi adalah produk monopoli. Tapi reaksi masyarakat bisa lebih keras jika masalahnya menyangkut produk yang sudah terbebas dari cengkeraman monopoli. Hal itu misalnya bisa terjadi pada komoditi tepung terigu. Berbeda dengan beras dan gula, gandum yang merupakan bahan baku tepung terigu tidak diproduksi di dalam negeri. Ini berarti tidak ada petani produsen yang mesti diproteksi. Yang ada di satu sisi adalah produsen yang mengolah terigu di dalam negeri seperti Bogasari, dan importir terigu di sisi lain. Peta perdagangannya lebih sederhana, tapi bukan berarti sektor terigu bebas dari masalah.
Persoalan muncul justru ketika konsumen terigu leluasa membeli produk yang sesuai dengan selera dan jangkauan mereka. Kondisi ini sebenarnya sudah ideal sekali. Tidak ada lagi praktek pemburu rente (rent-seeker) seperti yang bertahun-tahun terjadi di bawah monopoli Bogasari. Seiring dengan itu, dominasi Indofood di pasar mi instan terpangkas dan pada saat yang sama muncul produsen mi instan yang lain. Suasana pasar pun warna-warni dan bervariasi. Selain mi instan Indofood, ada mi instan Mie Mie, Chetz Mie, Salami, ABC, Gaga, Karomah, dan banyak lagi. Sungguh, tak pernah pasar mi instan sedinamik dan semenarik seperti sekarang ini.
Nah, di tengah persaingan yang berkibar-kibar itu—suasana yang sudah lama kita rindukan—tiba-tiba Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar memberlakukan bea masuk antidumping terhadap tepung terigu yang diimpor dari Australia, Uni Eropa, dan Uni Emirat Arab. Terhadap usul tersebut, Menteri Keuangan tampaknya bersikap sangat hati-hati. Pak Boediono memang tak mungkin buru-buru karena terigu merupakan hajat hidup orang banyak. Setidaknya, Menteri Keuangan harus lebih dulu mendapat informasi yang sahih tentang apakah eksportir terigu itu memang sengaja memasang harga dumping seperti dituduhkan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI). Atau sebaliknya, Bogasari belum efisien, sehingga terigunya rata-rata lebih mahal US$ 20-US$ 40 per metrik ton ketimbang harga terigu impor.
Di sini patut dipertanyakan sikap KADI yang menyimpulkan adanya dumping hanya karena laba Bogasari menurun selama 18 bulan. Sebenarnya, dengan hitung-hitungan di atas kertas, sudah bisa diperkirakan bahwa seberapa keras pun harga terigu impor dibanting, tidak mungkin lebih rendah dari harga di negeri asalnya. Bukankah ada biaya angkutan, asuransi, dan lain-lain? Di samping itu, pasar terigu Indonesia tidaklah amat sangat besar seperti pasar beras hingga perlu direbut dengan cara dumping.
Yang juga patut dipertimbangkan adalah dinamika pasar mi instan yang berkembang pesat sejak impor terigu dibuka persis tiga tahun lalu. Dinamika itu seyogianya dipelihara karena mendukung persaingan yang sehat, memacu kreativitas dunia usaha, mencegah monopoli, dan menciptakan harga yang wajar. Dan dinamika itu pula yang menangkal praktek pemburu rente, praktek yang sangat merugikan masyarakat konsumen tapi membuat Bogasari bengkak dengan laba yang luar biasa besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini