MISALKAN pada suatu hari yang sial Anda terdampar di pulau kecil tak berpenghuni di Kepulauan Riau, jangan terburu-buru gembira. Jangan pula berpikiran aneh-aneh: mendirikan tenda, berjemur di pantai, membakar ikan segar di malam hari. Cepat-cepatlah pergi dari pulau kosong itu. Bahaya yang lebih besar mungkin tengah mengintai: pulau itu akan segera amblas ditelan laut luas. Itu bisa terjadi jika kapal-kapal keruk diam-diam tengah "menghirup" pasir sepuasnya di bawah pulau tempat Anda nangkring.
Cerita pulau hilang ini bukan khayalan. Akibat penambangan pasir yang luar biasa rakus, sejak tahun 1970, Kepulauan Riau sudah kehilangan lima pulau kecil. Sebaliknya Singapura, sang penampung pasir. Negeri tetangga ini sepuluh tahun lalu wilayahnya cuma 630 kilometer persegi, sekarang sudah bertambah luas 20 persen. Sampai tahun 2010, Negeri Singa membutuhkan 1,8 miliar meter kubik pasir untuk mereklamasi delapan lokasi yang akan jadi tempat wisata, lahan pertanian, dan pusat penelitian perikanan.
Sampai sekarang saja, sudah 8 miliar meter kubik pasir Riau yang berlayar ke Singapura. Andaikan pantai Jakarta diuruk dari bibir pantai ke arah laut sejauh satu kilometer dengan urukan sedalam sepuluh meter, jumlah yang dikirim ke Singapura itu bisa menutup bibir pantai di Ibu Kota tadi sampai pantai Surabaya! Jarak keduanya 800 kilometer!
Yang diuntungkan ternyata bukan kas Pemerintah Daerah Riau—yang wilayahnya sudah "babak-belur" dijarah setiap hari. Delapan bulan terakhir tahun lalu, Riau hanya menerima pe-masukan pajak ekspor Rp 18,2 miliar, padahal pasir yang dikirim nilainya Rp 14 triliun. Pajak itu hanya 0,13 persen! Data enam bulan pertama tahun ini juga sama saja. Pajak yang diterima Riau cuma Rp 73,4 miliar dari ekspor yang Rp 47 triliun. Cuma 0,15 persen. Segelas dari satu drum air.
Si penikmat bagian terbesar bisnis ini, siapa lagi kalau bukan pengusaha dan birokrat. Saat ini Pemerintah Daerah Riau sudah mengeluarkan 300 izin penambangan, tapi baru enam perusahaan yang menyetor pajak. Sisanya? Lupa, pura-pura lupa, atau belum ingat bayar pajak—toh kalau ditagih tinggal menyelipkan amplop di saku aparat dan semua beres. Ada lagi kiat pengusaha ini: menghirup pasir di wilayah konsesi orang lain. Atau, ya, mencuri pasir agar lolos dari kewajiban membayar pajak tinggi. Nilai pasir yang dicolong itu ditaksir Rp 2 triliun setahun—sedikit lebih kecil dari anggaran Provinsi Riau setahun.
Pencurian ini terjadi, antara lain, akibat perizinan yang kacau. Sejak 1 Januari 2001, seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah kabupaten dan provinsi di Riau boleh mengeluarkan izin penambangan. Padahal, sebelum Januari 2001, pusat sudah duluan mengeluarkan izin.
Nah, sudah jamak terdengar bahwa urusan izin bisa keluar asal ada uang pelicin yang besarnya, ya, semiliar atau lebih sedikit.
Ketimbang lingkungan Riau rusak, pulau hilang, "sepotong" tanah air dijual ke tetangga, mungkin Riau bisa menawarkan satu-dua pulaunya untuk disewakan bagi kegiatan bisnis, penelitian perikanan, atau pertanian Singapura.
Selain itu, pengusaha pasir harus menyerahkan analisis dampak lingkungan di wilayah konsesinya secara berkala, juga melengkapi setiap kapalnya dengan alat monitor yang membuatnya gampang dipantau dari darat. Sesekali boleh juga dilakukan sweeping di laut untuk membuktikan apakah mereka beroperasi di wilayah yang diperbolehkan atau tidak.
Tanpa itu semua, mungkin akan lebih banyak pulau di Kepulauan Riau yang segera lenyap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini