Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sarjana dari Jagat Maya

Perguruan tinggi berbasis internet mulai beroperasi di Indonesia. Sekali lagi birokrat pendidikan tertinggal.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA ingin kuliah dengan suasana semau gue? Ini dia tempatnya: IBU Teledukasi. Kuliah pakai sarung silakan, sambil makan rujak pun oke. Bahkan ruang kuliahnya bisa sangat pribadi, di dalam kamar tidur. Asyik. Syaratnya, si mahasiswa harus akrab dengan komputer. Sebab, administrasi, perpustakaan, ataupun ruang kuliahnya semua berada di situs internet. Dosen dan mahasiswa berhubungan secara online. Karenanya, mahasiswa bisa menjalani proses belajar-mengajar dengan suasana semau si mahasiswa, juga dosennya. IBU Teledukasi memang perguruan tinggi pertama di Indonesia yang melakukan proses pendidikannya lewat dunia maya. Senin ini, 1.850 mahasiswa angkatan pertama memulai perkuliahan. Mereka berasal dari segenap penjuru, seperti Balikpapan, Lampung, Garut, Jakarta, dan kota-kota lainnya. Memang, mahasiswa bisa berada di mana saja, bahkan di luar negeri. Yang penting punya perangkat multimedia dan internet. Di negara maju, pendidikan lewat internet sudah lama ada dan jumlahnya mencapai ratusan, dari perguruan tinggi kelas ruko (rumah toko) hingga yang cukup terkenal. Misalnya, Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat. Mereka menawarkan berbagai gelar dan kursus. Di perguruan tinggi maya ini, mahasiswa bisa memperoleh materi kuliah lewat video, simulasi, tanya-jawab, serta seluruh gudang perpustakaan terbuka dalam bentuk online. IBU sendiri menawarkan lima program dengan gelar dari tingkat diploma, master of business administration (MBA), hingga doktor. Seperti wajarnya kuliah biasa, setiap mahasiswa harus menyelesaikan tahapan semester demi semester sebelum meraih gelar. Dengan biaya Rp 20 juta untuk program master dan Rp 35 juta untuk program doktor, mahasiswa masih harus membeli materi kuliah dalam bentuk cakram padat. Untuk satu mata kuliah, setidaknya mahasiswa membutuhkan tujuh hingga 12 cakram. Namun, diskusi langsung dengan para pembimbing masih diperlukan. Setiap mata kuliah dalam satu semester terdiri dari 12 jam belajar mandiri dengan cakram padat. Kemudian, dalam porsi waktu yang sama, kuliah lewat internet. Dan porsi yang sama lainnya dilakukan dengan tatap muka. Sedangkan sisanya, masing-masing tiga jam, dipakai untuk ujian tengah dan akhir semester. Semuanya diatur dari kantor pusatnya di sebuah rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Menurut Justiani, Presiden IBU Teledukasi, tatap muka nantinya akan dibimbing pengajar lokal untuk mendiskusikan materi kuliah yang belum dipahami mahasiswa. Sementara itu, kuliah online akan diisi oleh dosen utama atau dosen tamu langsung dari Jakarta. Namun, mahasiswa tak perlu pergi ke Jakarta untuk mengikuti kuliah tatap muka dan ujian. Di beberapa kota besar di Indonesia, IBU menunjuk satu pusat layanan internet (cyber center) seperti warung internet sebagai tempat diskusi. Sayangnya, saat ini baru empat kota yang cyber center-nya dipakai, yakni Medan, Semarang, Solo, dan Jakarta. "Kami segera menyiapkan kota lain agar peserta bisa terlayani," kata Justiani dari IBU. Untuk memuluskan programnya, IBU Teledukasi bekerja sama dengan Universitas Tun Abdul Razak (Unitar), virtual university dari Malaysia. Unitar, perguruan tinggi dunia maya pertama di Asia Tenggara, menyediakan materi dan kurikulum kuliah. Untuk itu, IBU harus membagi pendapatannya menjadi tiga bagian yang sama untuk Unitar, cyber center, dan pengelola IBU sendiri. Sayangnya, beberapa mahasiswa yang dihubungi TEMPO mengaku belum paham benar cara kuliah lewat internet ini, seperti diungkapkan Nila Komala Sari, yang mengambil program management course untuk tiga bulan. "Saya hanya ingin mencoba," kata Nila, karyawati sebuah lembaga di Jakarta. Yang pasti, menurut dia, ia bisa belajar tanpa meninggalkan meja kerja. Berbeda dengan Nila, yang akan memakai fasilitas kantornya, Marjoni Rachman dari Samarinda, Kalimantan Timur, sudah menyiapkan perangkat multimedia di rumahnya. Staf pengajar di Universitas 17 Agustus Samarinda ini tertarik mengikuti program doktoral. "Tapi sistem kuliahnya seperti apa, saya belum tahu," katanya. Namun, pendidikan dunia maya ini menurut Rachman merupakan salah satu cara transfer ilmu dari Jawa ke luar Jawa. Sebab, hingga kini Departemen Pendidikan masih melarang program kelas jauh. "Kita harus mengakui, kualitas pendidikan di luar Jawa masih jauh tertinggal," kata Rachman. Anehnya, meski pendidikan lewat internet baik dari dalam negeri maupun luar negeri sudah merambah Indonesia, Departemen Pendidikan belum menunjukkan sikap. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menolak berkomentar soal IBU Teledukasi. "Saya tidak banyak tahu," jawabnya singkat. Sekali lagi, aturan main tertinggal dari teknologi. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus