Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

'Opera Sabun' Tommy Masih Panjang

Tommy Soeharto, yang dikejar-kejar polisi, kini dinyatakan bebas. Kisah masih panjang. Silakan sabar atau muak.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPERA sabun yang bertemakan kekacauan hukum dengan judul utama Tommy Sang Perkasa tampaknya masih panjang. Berbagai episode sudah berlalu, dan majalah ini sudah berkali-kali pula memberikan komentarnya di rubrik ini. Episode awalnya adalah Tommy Sang Koruptor. Tommy, "putra mahkota" penguasa Orde Baru ini, dihukum 18 bulan oleh hakim kasasi yang diketuai Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Episode berikutnya, Akal-akalan Tommy, diawali dengan langkah Tommy yang kontroversial: memohon grasi sekaligus mengajukan PK (peninjauan kembali). Grasinya ditolak Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu, tapi sebelumnya Tommy sempat dua kali ketemu Abdurrahman. Luar biasa. Grasi yang dibarengi dengan PK hanya bisa dilakukan oleh orang perkasa, bukan orang macam Kartijo, pencuri kambing di Kebumen sana. Berlalu episode itu, muncul serial yang menegangkan: Tommy Sang Buron. Bayangkan kesibukan polisi memburu Tommy sampai menggali bunker, menggeledah beberapa rumah, menyediakan hadiah setengah miliar untuk siapa pun yang bisa menangkap Tommy, menyebarkan foto Tommy yang berubah menjadi Ibrahim lewat helikopter. Secara visual, epiode ini mengasyikkan. Berikutnya, episode Tommy Sang Dalang. Polisi menuduh Tommy terlibat dalam peledakan bom di Jakarta sampai pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Lalu, inilah episode sekarang: Tommy Bebas. Putusan PK dari MA keluar Senin pekan lalu. Segala hak dan martabat Tommy dipulihkan. Bahkan aset-aset Tommy, termasuk uangnya yang bermiliar-miliar, tidak lagi disegel. Apakah Anda bersabar menunggu kisah selanjutnya, atau sudah mau muntah karena muak? Terserah. Anda boleh juga menyimpan pertanyaan kenapa PK Tommy diproses MA, padahal pemohonnya sudah mengajukan grasi, lalu tidak patuh pada hukum, dan buron. Sah pula jika Anda curiga jangan-jangan semua aparat hukum terlibat dalam pembebasan Tommy, misalnya jaksa yang sejak awal lemah mengajukan tuntutan. Atau polisi yang pura-pura tak tahu di mana Tommy tinggal. Atau kecurigaan yang lain, hakim agung yang membebaskan Tommy takut di-"dor" jika menolak PK Tommy. Lebih baik dihujat masyarakat ketimbang mati konyol. Akibatnya, hukum yang mati konyol. Kita masih berharap opera sabun ini berlanjut dengan episode Tommy Muncul Kembali. Senin ini, seharusnya Tommy menandatangani eksekusi putusan MA bahwa dirinya bebas. Tanpa itu, hak dan martabatnya yang pulih tak bisa diberlakukan. Akankah Tommy muncul lalu ditangkap dengan tuduhan mendalangi peledakan bom, pembunuhan hakim agung, dan sebagainya itu? Skenario sedang dibuat, dan tampaknya pihak Tommy tak akan ikut konyol seperti itu. Seperti halnya opini kali ini pun tidak memberikan solusi apa-apa, karena kekonyolan sudah hiruk-pikuk untuk dikomentari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus