Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan perlu diapresiasi. Mahkamah menghapus diskriminasi terhadap penganut kepercayaan dalam kartu tanda penduduk. Kini mereka berhak mencantumkan "kepercayaan" yang dianut dalam KTP seperti yang berlaku bagi pemeluk agama yang diakui pemerintah.
Kementerian Dalam Negeri mesti segera membuat aturan baru untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada awal November lalu itu. Selama ini, penduduk tidak boleh mencantumkan "kepercayaan" dalam kartu keluarga dan KTP. Kepercayaan mereka hanya dicatat pada data induk. Ada yang mengosongkan kolom agama di KTP, ada pula yang terpaksa menuliskan satu dari enam agama resmi: Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan semua permohonan uji materi beberapa pemeluk kepercayaan. Mereka antara lain penganut Marapu di Nusa Tenggara Timur, Parmalim dan Ugamo Bangso Batak di Sumatera Utara, serta Sapto Darmo di Jawa Tengah. Mahkamah merevisi Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Dengan perubahan itu, "kepercayaan" harus dicantumkan dalam kartu keluarga dan KTP. Adapun aturan bahwa pencatatan kepercayaan hanya dalam data induk dihapus.
Putusan itu telah mengembalikan sebagian hak konstitusional penganut kepercayaan, yang diabaikan selama puluhan tahun. Sesuai dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, pemerintah hanya mengakui enam agama. Kebijakan itu dipraktikkan hingga sekarang, termasuk dalam pembuatan KTP. Diskriminasi ini jelas melanggar kebebasan beragama dan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.
Kebijakan itu juga berdampak buruk bagi penganut kepercayaan. Ada yang dikucilkan dan disebut kafir. Ada pula yang sulit mendapatkan akta kelahiran. Sebagian di antara mereka juga susah memperoleh pekerjaan dan akses perbankan karena kolom agama dalam KTP-nya kosong. Perlakuan buruk terjadi pula saat mereka bersekolah, juga sulit mendapat tempat pemakaman saat meninggal.
Diskriminasi itu belum sepenuhnya lenyap jika pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat tidak menghapus Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965. Aturan yang disahkan menjadi undang-undang pada awal era Orde Baru ini hanya melindungi enam agama dari ancaman penodaan. Adapun kepercayaan seperti Parmalim dan Marapu tak terlindungi.
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah awal buat melindungi secara total penganut kepercayaan sekaligus ajaran yang dianut. Pemerintah tak perlu mendiskon lagi putusan itu dengan hanya mencantumkan label generik "kepercayaan" dalam KTP tanpa menyebut nama kepercayaannya. Kementerian Dalam Negeri perlu bekerja sama dengan Kementerian Agama agar segera bisa memenuhi hak penganut kepercayaan.
Pelayanan bagi penganut kepercayaan harus diprioritaskan di tengah penataan administrasi kependudukan dan program kartu tanda penduduk elektronik. Proyek berbiaya triliunan rupiah ini berantakan karena dikorupsi besar-besaran. Kualitas e-KTP tidak seperti yang dijanjikan. Hingga sekarang pun banyak provinsi yang masih kekurangan blangko KTP.
Proyek pendataan penduduk itu akan tampak semakin buruk bila pemerintah gagal memberikan hak penganut kepercayaan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Pemerintah mesti memastikan mereka mendapat pelayanan mudah, dari pembuatan akta kelahiran hingga kartu tanda penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo