Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUKUM menjadi sedemikian rumit menghadapi Setya Novanto. Ketua Umum Partai Golkar ini seolah-olah bisa menekuk-lenturkan aturan. Kesaktiannya kembali terlihat, kini, ketika ia menghadapi kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP.
Permainan dimulai setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk Setya, terlibat dalam penggarongan proyek e-KTP hingga merugikan negara Rp 2,3 triliun. Para politikus, dengan "siasat ketuk palu" Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, yang dekat dengan Setya, membentuk Panitia Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketika KPK menetapkannya sebagai tersangka, Setya mengajukan gugatan praperadilan. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, memenuhi gugatan itu dan membatalkan status tersangka Setya pada September lalu. Kekonyolan ini berlanjut ketika pengacara Setya melaporkan Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Saut Situmorang serta 24 penyidik lembaga itu ke polisi.
Pengacara Setya mempersoalkan surat permintaan pencegahan Setya ke luar negeri kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta surat perintah penyidikan yang diteken kedua pemimpin KPK. Menurut mereka, surat-surat tersebut dibuat secara tidak sah dan melanggar kewenangan.
Sayangnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia pun dengan serta-merta meningkatkan laporan itu ke tahap penyidikan. Kesan bahwa polisi menjadi "pelindung" Setya terasa kuat karena hal itu dilakukan hanya beberapa hari setelah KPK kembali menyatakan Setya sebagai tersangka korupsi e-KTP.
Ada dua persoalan pada langkah polisi itu. Pertama, Pasal 25 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur aparat hukum harus mendahulukan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan perkara korupsi dari kasus lain. Kedua, keputusan itu juga akan mengancam banyak penyidik kepolisian sendiri- mengingat banyaknya tersangka kasus di kepolisian yang memenangi gugatan praperadilan di berbagai daerah.
Pembuatan surat perintah penyidikan dan permintaan pencegahan seseorang yang diduga terlibat kejahatan merupakan kewenangan penyidik. Langkah hukum itu sah meski kemudian digugurkan putusan praperadilan. Jika petugas hukum bisa dipidana setelah perkara yang mereka tangani kalah di praperadilan, banyak aparat KPK, kejaksaan, dan kepolisian akan kena perkara.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian sepatutnya memerintahkan anak buahnya menghentikan perkara itu. Presiden Joko Widodo pun seharusnya menegur Kepala Polri atas kesembronoan penyidik kepolisian. Apalagi langkah itu berpotensi merusak hubungan kepolisian dan KPK.
Presiden Jokowi semestinya menunjukkan dengan tegas dukungannya terhadap pemberantasan korupsi. Konflik dua lembaga akibat penanganan sebuah perkara tak seharusnya berulang. Dalam hal ini, ketegasan Presiden menjadi penting.
Sejarah telah mencatat, betapa kepolisian bereaksi keras ketika KPK mengganggu kepentingan mereka. Hal itu memicu ketegangan kedua lembaga, seperti yang terjadi pada 2015, ketika KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka penerimaan gratifikasi.
Kriminalisasi oleh polisi jelas melelahkan. Tapi pimpinan dan penyidik KPK tidak boleh kendur. Sudah sepatutnya proses hukum perkara e-KTP yang diduga melibatkan Setya dipercepat.
Keputusan KPK menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka sudah tepat. Setya dan para pendukungnya tentu tidak akan tinggal diam. Dia mungkin mengajukan gugatan praperadilan seperti pada penetapan tersangka yang pertama.
Karena itu, komisi antirasuah mesti lebih siap dan bergerak cepat. Jika diperlukan, KPK harus menahan Setya agar dia tidak memiliki kesempatan menghilangkan barang bukti. Apalagi jika penyidik telah mengumpulkan banyak bukti baru, termasuk data aliran dana e-KTP yang diungkap Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat.
KPK sepatutnya juga memperbaiki pengamanan dokumen-dokumennya. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan untuk Setya bocor lebih dulu ke publik. Kebocoran ini sudah selayaknya diselidiki: jangan-jangan sengaja dilakukan kalangan internal untuk membantu sang tersangka.
KPK perlu bekerja ekstra termasuk memperketat prosedur hukum guna menangkal berbagai intervensi- untuk bisa mengalahkan siasat-siasat Setya Novanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo