Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIDAKMAMPUAN pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sungguh memprihatinkan. Padahal usul ini masuk Program Legislasi Nasional sejak dua tahun lalu. Kegagalan ini mencerminkan tak adanya keberpihakan para pembuat undang-undang pada isu perempuan dan rendahnya pemahaman mereka soal urgensi peraturan ini.
Data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama 2017 saja sudah berjumlah 335.062 kasus. Ini naik hampir 30 persen dari tahun sebelumnya dan trennya terus memburuk. Angka ini saja seharusnya sudah cukup membuat anggota DPR meletakkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas utama.
Apalagi separuh dari semua kasus perempuan yang melaporkan tindak kekerasan seksual selalu berakhir dengan jalur mediasi. Korban kerap dipaksa menikah dengan pelaku untuk menghindarkan keluarga korban dari aib. Akibat praktik semacam ini, masyarakat kian lama kian permisif terhadap kekerasan seksual. Sebagian besar orang kehilangan empati kepada korban dan cenderung ikut menyalahkan mereka.
Ujung pangkalnya adalah penegakan hukum soal tindak pidana kekerasan seksual yang selama ini memang bermasalah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual seolah-olah tak tersentuh. Pertama, sistem hukum Indonesia mendefinisikan kekerasan seksual dengan amat sempit. Saat ini definisi tindak pidana pemerkosaan, misalnya, hanya terbatas pada tindak pemaksaan hubungan seksual secara fisik. Bujuk rayu yang mengintimidasi dan ungkapan cabul yang tidak pada tempatnya tak digolongkan sebagai kekerasan seksual.
Kedua, hukuman untuk kejahatan seksual masih amat ringan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya menggolongkan pelaku kejahatan seksual dalam kategori perbuatan pencabulan dengan sanksi hukuman maksimal cuma sembilan tahun penjara. Peraturan lain, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, tidak mengatur dengan detail sanksi untuk tindak pidana eksploitasi seksual. Akibatnya, predator seksual bisa melenggang dengan hukuman ringan yang tak menimbulkan efek jera.
Ketiga, pembuktian kejahatan seksual umumnya harus melalui prosedur yang berbelit yang tak berpihak kepada korban. Keberhasilan penegakan hukum dalam kasus semacam ini amat -bergantung pada kepekaan polisi, jaksa, dan hakim. Tanpa itu, korban kekerasan seksual kerap harus menghadapi ”pemerkosaan kedua” karena detail kejahatan yang menimpa dirinya terus diulang-ulang selama proses penyidikan dan persidangan di pengadilan.
Karena itulah keberadaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting. Definisi kekerasan seksual bisa diperluas untuk mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual lain. Hukuman untuk pelakunya juga bisa diperberat plus ada pembayaran ganti rugi materiil dan imateriil untuk korban.
Selain itu, undang-undang ini akan memperbaiki metode penanganan kejahatan seksual. Misalnya soal perlunya pendampingan psikiater dan keberadaan dokter khusus bagi korban selama penyidikan, yang dibiayai negara.
Pendeknya, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu menangani kasus kekerasan seksual dengan adil, sistematis, dan berpihak kepada korban. Sesuatu yang seharusnya menjadi misi utama pemerintah dan DPR kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo