Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Investasi Bodong

PENGUSUTAN terhadap skandal pasar mata uang bitcoin menguak praktik penipuan yang merugikan masyarakat hingga triliunan rupiah.

15 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Investasi Bodong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis ini semula diminati banyak orang karena menjanjikan keuntungan berlipat-lipat. Tapi hasil yang mereka peroleh jauh panggang dari api. Belakangan terungkap uang para nasabah tidak jelas keberadaannya.

Penipuan bermodus investasi fiktif itu juga pernah dialami ribuan nasabah Gunung Sion Valasindo. Majalah Tempo edisi 29 Januari 1994 memotret persoalan tersebut melalui artikel “Kejar Untung, Jadi Buntung”. Praktik lancung itu menyeret anak bos taipan pemilik bank swasta nasional.

Mirip gerilyawan kota, tiba-tiba sekitar 50 orang menyerbu rumah Mindawati, anak bos Panin Group, Mu’min Ali Gunawan, pada Januari 1994. Rumah yang terletak di Permata Hijau, sebuah kawasan elite di Jakarta Selatan, ini mendadak riuh. Tapi niat mereka bertemu dengan penghuni rumah ditolak. “Ibu sedang keluar,” kata anggota satuan pengamanan penjaga gerbang.

Para “gerilyawan” tak mundur. Mereka bertahan di depan pintu masuk. Mu’min Ali Gunawan, yang tinggal tak jauh dari rumah itu, rupanya jengkel. Ia melaporkan para “penyerbu” ke pos polisi terdekat. Ketika tiga polisi datang, Artin Sihombing, penyerbu yang dianggap senior, menjawab bahwa kedatangan mereka bukan untuk merusak. “Kami hanya minta pertanggungjawaban Tony Santosa dan Mu’min,” katanya. Tony adalah suami Mindawati.

Akhirnya polisi hanya mengawasi mereka dari jauh. Tak lama kemudian, sebuah jip Trooper datang. “Itu dia Mu’min. Ayo turun,” mereka berteriak. Memang betul, ternyata Mu’min-lah yang datang. Ia mengemudikan sendiri mobilnya. Melihat kegarangan tamu yang tak diundang itu, Mu’min rupanya ngeri. Apalagi lampu kamera televisi berkilauan. Ia pun segera berputar, menekan gas, meninggalkan orang-orang itu.

Para penyerbu itu adalah korban penipuan menantu Mu’min, Tony Santosa. Lewat Gunung Sion Valasindo, perusahaan valuta asing yang dipimpinnya, Tony berhasil meraup duit mereka sebanyak hampir Rp 30 miliar. Penipuan itu dilakukan selama 1990-1991. Caranya, Tony menjual dolar Singapura dengan harga sangat murah, kadang-kadang sampai 30 poin (Rp 30) di bawah kurs resmi Bank Indonesia. Orang pun berduyun-duyun datang.

Tony tidak membayar dolar itu secara tunai, tapi menggunakan cek. Awalnya cek tersebut gampang dicairkan karena dananya ada. Tapi, mulai pertengahan 1991, cek tidak bisa dicairkan. Saat itu Tony sudah melarikan diri dan memboyong duit nasabah. Artin Sihombing, misalnya, kehilangan Rp 3 miliar, duit Surya Lestari amblas Rp 2,6 miliar, dan Kartikawati rugi Rp 1,7 miliar.

Karena tak berhasil menjumpai Mu’min, nasabah mengadu ke Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Mereka juga mengirim surat ke Kantor Wakil Presiden lewat kotak pos 5000. Mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus itu seperti menuntaskan perkara Bank Summa. “Aset Tony Santosa kan banyak. Itu semua bisa dijual untuk mengganti uang kami,” kata Artin.

Mengapa mereka sampai tertipu? Seorang nasabah bercerita, harga yang ditawarkan Gunung Sion sampai 30 poin di bawah kurs BI itu sangat menggiurkan. Terlebih dalam pergaulan sehari-hari Tony adalah pribadi yang menyenangkan. Nasabah sama sekali tidak menyangka Tony bermaksud jelek. “Apalagi ia menantu Mu’min, jadi kami percaya,” tuturnya.

Harga yang ditawarkan Gunung Sion memang sangat miring dibandingkan dengan kurs di penukaran uang pada umumnya. Perusahaan valas Semesta Perdana Jaya, misalnya, paling hanya mengambil selisih satu atau dua poin dari kurs resmi BI. Langkah itu diambil karena persaingan sangat ketat. “Jadi kami mengandalkan omzet,” ucap Bambang Wijatmoko, direktur perusahaan tersebut.

Akan halnya Gunung Sion menukar duit nasabah dengan cek, itu juga salah. Menurut seorang pejabat BI, berdasarkan Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, perusahaan valas harus membayar duit nasabah secara tunai. Diakuinya, meski peraturan cukup ketat, pengawasan BI belum efektif. “Perusahaannya ribuan, sedangkan jumlah orang kita kan sedikit.”


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  29 Januari 1994. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201212060041/ria-terlibat-narkotika-ria-irawan-narkotika-narkoba#.XBOaFoszaUk

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus