Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengucilkan sdsb

Sdsb yang menggantikan porkas, tssb & ksob memancing polemik. sdsb sebaiknya diperketat pengedarannya, di persulit aksesnya & dikucilkan dari masyarakat ramai. kelak bila sdsb dikubur akan ada masalah.

14 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PORKAS itu, kata K.H. Hasan Basri suatu ketika, mengandung lebih banyak mudarat daripada manfaat. Artinya, daya rusak Porkas lebih besar daripada daya binanya. Yang dimaksud Ketua MUI tentunya Porkas itu judi. Barangkali, tata krama Melayu menyebabkan beliau tidak sampai hati menegaskan Porkas sama dengan judi. Penegasan sebagai judi dinyatakan oleh MUI Jawa Barat dan Jawa Timur. Almarhum Blegoh Sumarto, seorang tokoh DPRD Jawa Timur, menentang Porkas dengan alasan telah merusakkan mental dan ekonomi rakyat kecil. Para pendidik dan orangtua juga menyatakan keprihatinan terhadap Porkas lewat berbagai media massa. Mereka cemas dan khawatir karena sebagian anak didik dan generasi muda bangsa telah kecanduan Porkas. F-KP, fraksi Golkar di DPR, akhirnya angkat bicara, meminta Porkas ditinjau kembali. Pendapat "dari dalam" ini cukup menyegarkan. Porkas, yang telah bergentayangan hampir di seluruh tanah air berdasarkan SK Mensos No. BSS-26-12/87, oleh F-KP diusulkan supaya ditinjau kembali. Dalam eufemisme bahasa kita, arti "ditinjau kembali" adalah dihapuskan. Akan tetapi setelah gelombang protes beruntun, Porkas tidak dihapuskan. Ia hanya berganti baju menjadi KSOB. Yang terakhir ini pun tidak pernah sepi dari protes masyarakat, karena dampak sosial, mental, dan psikis KSOB cukup destruktif bagi masyarakat. Pada gilirannya, dampak destruktif itu makin meluas. Mentalitas spekulatif, untung-untungan, dan mental pemalas makin membudaya. Banyak pedagang mengeluh karena pasar jadi lesu. Kriminalitas di kampung-kampung juga cenderung meningkat. Banyak rumah tangga guncang dan ambruk. Bukti-bukti faktual yang ada tampaknya belum cukup untuk menghapuskan sama sekali KSOB, yang merupakan kelanjutan Porkas. Sekarang KSOB berganti baju lagi menjadi SDSB, dengan sedikit perubahan di sana-sini. Memang agak sulit menembak Porkas, TSSB, KSOB, dan SDSB dengan senapan agama dan bedil hukum. Seorang ulama dengan logika akrobatik fikih dapat saja berfatwa bahwa SDSB bukan judi dengan dalih para pemainnya tidak berhadap-hadapan. Seorang ahli hukum, dengan logika yang sama, juga dapat mengatakan bahwa SDSB bukan judi, karena sulit dijaring oleh pasal-pasal KUHP. Namun, menarik untuk diamati reaksi masyarakat dan beberapa pejabat tinggi terhadap SDSB. Seperti dapat diduga, kaum agamawan, kaum pendidik, kaum pemimpin informal, dan banyak orangtua akan terus menyatakan keprihatinan terhadap SDSB. Sikap mereka terhadap SDSB kira-kira sama dengan sikap sebelumnya terhadap Porkas dan KSOB. Sementara itu, Pemda Aceh dan NTT telah melarang SDSB memasuki wilayahnya. Semua gubernur akan memperketat pengawasan peredaran SDSB. Sejumlah mahasiswa UGM dengan diantar Rektor Koesnadi menemui Pemda DIY, meminta agar SDSB tidak diedarkan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam sebuah ceramah, seorang panglima sebuah kodam mengatakan bahwa setiap anggota ABRI dalam jajaran kodam yang dipimpinnya dilarang membeli SDSB. Bila ada oknum yang jadi backing agen SDSB, kata panglima, oknum itu akan digebukin. Pihak penyelenggara SDSB sendiri tampaknya menderita rasa salah. Buktinya, mereka menganjurkan supaya penjualan SDSB dijauhkan dari sekolahan dan rumah-rumah ibadat. Jadi, dapat disimpulkan, memang ada yang tidak beres atau ada daya rusak yang terkandung dalam SDSB. Nama SDSB-pun, sebagai kepanjangan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah, agak menyesatkan. Derma adalah sebagian kecil dari penghasilan seseorang yang dikeluarkan untuk menolong orang lain. Bila seorang abang becak, tukang kayu, tukang batu, kuli bangunan, atau pegawai rendah membeli kupon SDSB seharga Rp5.000, jelas mereka tidak sedang berderma. Abang becak yang berpenghasilan sekitar Rp20.000 seminggu, dan ditunggu oleh istri dan anak-anaknya di rumah, pada hakikatnya sedang bunuh diri perlahan-lahan bila setiap minggu membeli satu atau dua kupon SDSB. Dalam kenyataan, kebanyakan mereka yang tergila-gila pada SDSB adalah rakyat kecil yang dililit kesulitan hidup. SDSB bagi mereka menjadi eskatolog semu, pembebas palsu dari derita ekonomi sehari-hari. Setelah Porkas dan KSOB, mengapa lahir SDSB ? Jawabnya pasti karena kita perlu biaya besar untuk pembinaan olahraga. Sesungguhnya, bukan olahraga saja yang butuh biaya besar. Pembinaan pendidikan dan pembinaan kesehatan masyarakat, misalnya, juga perlu biaya besar. Toh kita dapat mengelola pendidikan dan kesehatan tanpa lewat kupon-kupon undian. Atau mungkin sudah menyangkut prestise dan wibawa pihak penyelenggara? Bila Porkas dan KSOB dihapuskan menuruti protes masyarakat, jangan-jangan prestise dan wibawa itu melorot? Seharusnya tidak demikian. Tradisi bangsa kita mengajarkan bahwa mengambil sikap surut dan mundur dari suatu keputusan yang keliru justru pertanda sifat kesatria dan jiwa besar. Cerita pewayangan penuh dengan tamsil-tamsil seperti itu. Jadi? Prestise olahraga kita memang belum meningkat sejak Porkas dan KSOB digelarkan. Yang meningkat mungkin adalah keuntungan para distributor dan agen kupon undian yang berdaya tarik masal itu. Nah, sesuai dengan anjuran pemerintah, sebaiknya SDSB memang diperketat pengedarannya, dipersulit aksesnya, dan dikucilkan dari masyarakat ramai. Jangan lupa, suatu ketika bila SDSB sudah dihapuskan dan dikubur total, kita masih menghadapi persoalan kelewat berat. Persoalan itu adalah bagaimana kita dapat melakukan rekonstruksi mental masyarakat. Bagaimana memulihkannya kembali setelah beberapa tahun rusak berat akibat Porkas dan saudara-saudaranya. Membangun kembali sesuatu yang sudah hancur bukan perkara mudah. Proses rekonstruksi selalu lebih sulit dan pelik daripada proses destruksi. Hal ini bukan masalah enteng. Semoga, kelak setelah dikubur, SDSB tidak lagi mengalami reinkarnasi, menjadi makhluk lain yang lebih ganas. Makhluk dengan seribu satu buntut yang membuat kita semua kewalahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus