PAK Modin jadi bingung. Jenazah yang sudah dlmandikan dan akan disembahyangkan itu tetap saja terbuka tangannya Berkali-kali dicoba untuk menyedekapkan tangan jenazah itu, tetapi posisi tangannya selalu kembali lagi - terbuka, dengan telapaknya menengadah ke atas. Pak Modin lalu bertanya apa pekerjaan orang itu dulunya. Bea cukai, jawab orang di sekeliling. Pak Modin mengangguk-angguk. Ia merogoh selembar rlbuan dan meletakkan lipatan uang itu ke telapak tangan jenazah. Lalu tangan jenazah itu menutup sendiri, dan bersedekap rapi. Orang Bea Cukai tak boleh marah. Ini lelucon diceritakan sendiri oleh seorang pejabat tinggi Bea Cukai kepada saya. Sama seperti lelucon lainnya tentang profesi: pelaut yang berjalan miring atau ibu guru TK yang menyuruh suaminya cuci kaki sebelum naik ke tempat tidur. Kegemaran bangsa kita terhadap vibrasi angka terbukti lagi. Pada tanggal 4 bulan 4 keluarlah sebuah Instruksi Presiden Nomor 4. Dan tiba-tiba saja tersunatlah wewenang dan tugas Bea Cukai. Sekarang angka empat menjadi keramat dan angker. Padahal, dulu ada angka sembllan yang sama angkernya ketika Pemerintah membentuk tim Walisongo. Petugas Bea Cukai, yang dulu selalu datang ke kantor naik taksi, kini belajar menyesuaikan diri dengan bis. Kalau dulu mereka selalu makan di restoran, kini mereka mulai melatih diri makan di warung atau memesan nasi bungkus. Bar dan tempat hiburan di sekitar pelabuhan pun langsung sepi. Betapa saktinya Bea Cukai sebelum ini dapatlah digambarkan dengan angka berikut. Dokumen impor dulu harus "jalan-jalan" melewati 52 meja. Tak kurang. Lalu menyusut menjadi 28 meja pada akhir Maret yang lalu. Minggu kedua bulan April jumlah meja itu tinggal tiga buah. Tapi ini bukan kiat tentang bea cukai, melainkan tentang keberanian untuk berpikir sederhana. Luar biasa, dari 52 menjadi tiga. Apakah kita mendadak sontak menjadi efisien? Ataukah karena jumlah 52 itu dulu memang sebenarnya tidak sungguh-sungguh diperlukan? Yang jelas, keberanian untuk menyederhanakan ini perlu mendapat acungan jempol. Diperlukan tidak kurang dari Presiden sendiri untuk melakukan langkah penyederhanaan itu. Dan itu mengingatkan saya kepada ucapan E.F. Schumacher. Katanya, setiap orang yang baru menyelesaikan pendidikan formalnya dapat membuat sebuah persoalan sederhana menjadi rumit. Kemudian diperlukan scorang yang benar-benar ahli untuk membuat persoalan itu mudah atau sederhana kembali. Kesederhanaan memang sering membuat orang takut. Hampir sepuluh tahun yang lalu majalah Prisma pernah menulis judul: Hidup Sederhana, Siapa yang Suka? Ya, bertanyalah sendiri, apakah kita masih berani hidup sederhana? Pada sebuah gerbang perguruan tinggi di Jepang ada juga sebuah amsal berbunyi: Plain Living, High Thinking. Menurut saya, amsal itu cuma benar separuh. Hidup sederhana sudah benar. Tetapi mengapa kita lalu takut berpikir sederhana? Dan ini memang ciri khas arogansi akademis, yang membuat setiap lulusan perguruan tinggi tidak berani lagi berpikir sederhana. Teman saya, seorang bekas tukang batu di Amerika yang kini bekerja di Indonesia sebagai pekerja sosial, Craig Thorburn, pernah menulis buku berjudul Teknologi Kampungan. Ini tidak main main.Dan itu ditulisnya justru kenka semua orang sedang membicarakan high-tech dan sebangsanya itu. Dengan keberanian penuh ia menulis buku tentang teknologi dasar yang buktinya telah membantu sebuah kampung memperoleh air bersih, dan teknologi "kampungan" lainnya yang setingkat itu. Dan memang teknologi macam itulah yang nyatanya masih banyak kita butuhkan. Sering kali saya duduk di antara intelektual. Mereka bicara tentang kultur, tentang politik, tentang komitmen sosial, dan hal-hal lain yang muluk. Terus terang, sering kali saya tidak mengertl dengan persis apa yang dikehendaki mereka. Saya pun, tanpa malumalu, sering bertanya, "Coba, tolong ungkapkan semua yang kau jelaskan tadi dalam dua kalimat." Dan tiba-tiba saya mengerti. Gaya hidup modern memang semakin kompleks, dan karena itu semua orang harus mendapat pendidikan yang lebih baik. Atau mungkin pernyataan itu harus dibalik. Karena makin banyak orang berpendidikan, gaya hidup menjadi semakin kompleks. Tingkat kecanggihan (sophistication level) makin hari makin baik. Ini juga sesuai dengan teori hierarchy of needs dari Abraham Maslow. Kita memang tidak sedang terperangkap antara pilihan pertumbuhan modern dan stagnasi tradisional, tetapi menemukan dan mencari jejak langkah yang benar ke arah pembangunan. Peter Ustinov pernah menggambarkan perubahan zaman ini dengan pernyataan berikut: We used to have lots of questions to which there where no answers. Now with the computer, there are lots of answers to which we haven't thought up the questions. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini