Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pulang

Gadis ingusan dan wanita yang lugu dan bodoh sering jadi mangsa empuk sebagai pembantu rumah tangga, pemijit, menghibur atau pelayan seks. Pengiriman TKW ke Timur Tengah harus selektif.(kl)

27 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARANG saya bicara dengan sopir taksi antara bandar udara Don Muang dan penginapan. Pertama, karena jurang bahasa. Kedua, sering sopir taksi memancing-mancing soal seks, lalu menawarkan untuk mengantar ke Pattaya yang tersohor kehidupan malamnya itu. Setelah dijawab bahwa sudah sering ke Bangkok, dia tidak selera lagi memperpanjang cerita. Tidak disangka-sangka, kali ini saya mendapat sopir taksi yang canggih ke Don Muang - berpakaian rapi, berbahasa Inggris dengan baik. Tampaknya, sopir yang sebenarnya terlambat atau sakit, dan seorang staf perusahaan menggantikannya secara mendadak. Saya memuji Bangkok dan Muangthai. Negeri yang memikat untuk turis, banyak atraksi - kuil-kuil, pasar terapung, adu tinju khas, dan acara-acara kesenian di Rose Garden. Penduduknya ramah, negerinya indah. Jawabannya di luar dugaan. - Saya sedih melihat perkembangan Bangkok. Tuan tahu sendiri salah satu atraksi yang penting, mungkin terpenting, adalah seks. Memalukan bagi kami. Banyak orang datang melihat atraksi ini dan itu sebagai embel-embel. Dan begitu banyak gadis ingusan dari pelosok jadi mangsa empuk, kemudian menjadi mangsa profesional. Sungguh, Tuan, saya tidak pernah pergi ke tempat pelacuran. Dan tidak pernah ke massage parlour. Sesudah check-in, saya saksikan komunikasi yang tak beres antara seorang calon penumpang wanita dan petugas penerbangan. Memakai jilbab dan berbaju sedikit kumal, wanita itu wajahnya menunjukkan kelesuan dan kepasrahan menghadapi sang petugas. Kulitnya kuning langsat, usia sekitar 25. Menjawab pertanyaan saya, petugas wanita yang simpatik itu berkata: - Begini, Tuan. Dia tidak bisa berangkat ke Jakarta. Dia tidak punya uang untuk airport tax 120 baht atau lima dolar Amerika. - Ibu dari Indonesia? tanya saya dalam bahasa Indonesia. - Ya, Pak, saya orang Indonesia. Tolong saya dipinjami uang supaya bisa ke Jakarta. - Ibu datang dari mana? - Dari Riyadh, Pak, kemarin. Saya mau pulang. - Ibu bekerja di Riyadh? - Ya, Pak. Ini surat saya. Saya mencoba membaca suratnya. Astaghfirullah, dalam bahasa Sunda. Saya tidak mengerti bahasa Sunda. Juga tidak mengerti mengapa sesudah hampir 40 tahun merdeka masih ada surat perjanjian dalam bahasa daerah, untuk kontrak luar negeri pula. Tampaknya, itu surat pernyataan, entah pernyataan apa. Pada sudut kiri atas tercantum nama perusahaan yang mengirim dia ke Riyadh, lengkap dengan alamat dan nomor telepon di Jakarta. - Numpang tanya, Madame karena dia ini penumpang transit, 'kan seharusnya bebas airport tax? - Tidak, Tuan. Pembebasan tidak berlaku kalau lebih dari 12 jam. Dia tiba kemarin siang pukul 10.00. Ketika saya tanya ibu itu, mengapa tidak direncanakan kemarin langsung keJakarta, dia tidak mengerti maksud saya. Saya bayar 120 baht, persoalan selesai. Kami sama-sama ke imigrasi dan ke ruang tunggu. Didekapnya sebuah tas besar putih dari plastik, yang talinya sudah putus dan dihilangkan. Karena pembicaraan kami sering tidak 'nyambung, beberapa kali dia bilang, "Maaf, Pak, saya bisanya bahasa Sunda." Daya tangkapnya rendah sekali. Bodohnya begini, kok dikirim ke Arab Saudi mewakili bangsa Indonesia? Dia sudah empat bulan di Riyadh, gaji Rp 150.000 sebulan, dan sekarang pulang. Tidak jelas mcngapa pulang. Dia cenderung diam. Menjawab pertanyaan saya, katanya dia sudah sarapan dan tadi malam menginap di hotel. Pikiran saya digumuli pertanyaan macam-macam. Siapa yang membawanya ke hotel? Dia tidak akan mampu sendirian ke hotel, juga tidak punya uang. Apa dia dirampok? Atau diperkosa orang? Apa dia tidur di bandar udara Dong Muang ini, tadi malam ? Apa betul-betul dia sudah sarapan ? Siapa yang memberinya ? Kalau perusahaan penerbangan yang mengurusnya kemarin, mengapa tidak terus diurus sampai check-in siang ini? Dan mengapa pulangnya dari Riyadh tidak keruan? Misterius. Dia berasal dari sebuah desa di Kabupaten Bandung. Mempunyai anak tiga orang, yang sulung berumur tujuh tahun. Suami sudah diberi tahu tentang kepulangannya. - Ada yang menjemput Ibu di Jakarta nanti? - Tidak tahu. Saya mau pergi ke kantor X, kantor yang mengirim saya ke Riyadh. Boleh saya pinjam dari Bapak untuk ongkos saya ke kantor itu? Tempat duduk kami di pesawat airbus itu cukup jauh terpisah, dia di 26 A, saya di 14 H. Tidak jauh dari tempat duduknya berjejer lebih dari setengah lusin orang Indonesia. Seperti biasanya, saya transit di Singapura, lihat-lihat di bandar udara Changi. Ketika mau menaiki ban berjalan yang kedua, tiba-tiba saya melihat ibu itu bersama tas plastiknya yang putih. Saya tersentak, lalu menghampirinya. - Ibu mau ke mana? - Ini 'kan Jakarta? - Tidak, Bu. Ini Singapura. Ibu jangan keluar. Saya bawa dia kembali ke ruang tunggu 66 E, lalu memberi tahu petugas bahwa ia penumpang untuk Jakarta, bukan Singapura. Di kapal terbang saya teringat seminar Dr. Anchalee, seorang ahli dari Chiang Mai, mengenai TKW. Dia mengatakan, pemerintah Muangthai tegas menolak pengiriman TKW ke Timur Tengah. Dan contoh TKW yang satu ini menggugah saya berpikir perihal berbagai pekerjaan wanita di kolong langit. Di Timur Tengah menjadi pembantu rumah tangga. Di Bangkok dan Pattaya menjadi penghibur, pemi)it, atau pelayan seks. Setiba di Halim, saya telepon perusahaan itu, meminta mereka menjemput ibu tadi. Sambutannya baik, kami disuruh tunggu di Informasi. Kepada seorang petugas Informasi saya ceritakan duduk soalnya. Ibu itu akan dijemput, jangan sampai termakan taksi gelap. Saya minta dia menelepon saya kalau sampai sore tidak ada yang menjemput. Ibu itu berdiri di sudut ruangan Informasi sebelah luar. Sekali lagi saya tekankan supaya dia jangan pergi dengan siapa pun, kecuali dengan penjemput dari perusahaan itu. Dua jam kemudian telepon berdering. - Apakah Bapak tadi yang menelepon perusahaan kami, tentang seorang TKW dari Riyadh? Ya, saya sama-sama dari Bangkok. Saya suruh dia menunggu di Informasi. - Tapi dia tidak ada. Sudah kami cari-cari, semua orang sudah ditanya, dia tidak di sana lagi. Jangan-jangan sudah dimakan taksi gelap. Sedih rasanya. Akhirnya, terkecoh juga dia. Mungkin gelang, kalung, dan barang berharga lainnya sudah amblas. Jangan-jangan lebih dari itu. Satu jam kemudian menyusul sebuah telepon. Ibu itu tidak ditemukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus