AKHIRNYA masyarakat Banjarmasin boleh merasa lega. Senin malam pekan lalu PCP (Penta Chloro Phenol) dan derivat-derivatnya yang teronggok di gudang B, Trisakti, pelabuhan Banjarmasin, sebanyak 20 ton telah diangkut ke luar kota. PCP, yang sudah dikemasi petugas bermasker sejak pertengahan Maret lalu, diangkut dengan 11 truk di bawah pengawalan tim pemusnahan pestisida, di antaranya dari Laksusda dan Polda, menuju daerah Kecamatan Satui, Kabupaten Kotabaru, yang jaraknya 200 km dari Banjarmasin ke arah tenggara. Pestisida yang menumpuk di gudang B, yang oleh pengusaha kayu dijadikan obat pengawet kayu, ini sudah sejak tahun 1978 berada di sana sebagai barang sitaan. Seandainya seseorang yang dlduga pencuri tidak tewas di sana tiga tahun lalu, mungkin tak seorang pun sadar bahwa di salah satu ruangan yang luasnya sekitar 100 m2 tersimpan racun yang jauh lebih berbahaya daripada bahan pestisida di Bhopal, India, yang telah membunuh ribuan orang. PCP, yang masuk dalam kategori B-3 (bahan berbahaya dan beracun) ini termasuk kelas satu - sementara MIC (Methyl Isocyanate) jenis pestisida yang di Bhopal itu dalam daftar Departemen Kesehatan RI masuk klasifikasi kelas dua. Keduanya dilarang beredar tanpa izin khusus. Sebenarnya, ada beberapa cara untuk mengenyahkan pestisida berbahaya ini. Diekspor kembali ke negara asal, dinetralisasikan dengan bahan kimia lain, dan dipendam. Dua yang pertama dianggap terlalu mahal karena tiga perusahaan pemiliknya (PT First Djajanti, Bina Harapan, dan Surya Sejati) mengaku, perusahaannya sedang pailit. Akhlrnya, oleh yang dlketual Ir. Soetnsno Tardjo, dari Dinas Kehutanan, yang dibentuk dengan SK Gubernur Kal-Sel, ditempuh cara ketiga yaitu dengan dipendam (TEMPO, 16 Maret 1985, Lingkungan). Beberapa tempat dipilih untuk menguburkan racun berbahaya itu. Satui terpilih sebagai lokasi yang cocok, mengalahkan tiga lokasi lainnya: Pengaron di Kabupaten Tapi, Hulu Sungai Tengah, dan Hutan Lindung Riam Kanan. Ketiga tempat itu, yang jaraknya hamplr sama dengan Satui, dianggap tak cocok karena pengangkutan ke kawasan itu sulit dan bahkan ada yang lewat sungai, sehingga bila tumpah, misalnya, akan mencemarkan kampung-kampung sepanjang sungai. Kelebihan Satui ialah berada di tepi jalan tembus Pagatan-Banjarmasin dan cuma 22 km dari basecamp Djajanti Group, pemilik HPH terbesar di Kalimantan Timur. Kawasan yang dibebaskan dan kemudian dijadikan kawasan tertutup itu mencakup luas 20 ha. Kawasan itu sudah jadi semak belukar, tidak berproduksi lagi. Luas kubur PCP itu sendiri ada 0,7 ha. Areal ini dianggap paling cocok karena jauh dan permukiman, jauh darl ladang, dan tak ada sumber air di dekatnya. Ir. Soetrisno Tardjo, yang jadi ketua tim pemusnahan dan juga kepala bagian produksi Dinas Kehutanan Kal-Sel, merencanakan penguburan PCP cuma makan waktu tiga hari. Dugaannya meleset. Truk yang bergerak pukul 19.00 Senin pekan lalu baru tiba hari Selasa, pukul 16.00, setelah 21 jam lamanya. Biasanya, jarak 200 km Satui - Banjarmasin bisa ditempuh enam jam saja. Lelah dan payah menjadi bertambah ketika truk memasuki jalan tak beraspal, tempat PCP itu akan dipendam. Jarak 22 km dari jalan raya ke dalam menjadi cukup panjang dan mendebarkan karena truk-truk sempat terjebak lumpur beberapa jam. Baru hari ketiga sejak PCP meninggalkan Banjarmasin, penguburan bisa dilaksanakan. Di lokasi itu, sudah digali 54 lubang vang sudah disemen yang masing-masing se'uas 1,5 m2 dan sedalam 2,25 m. Pelaksanaan pekerjaan ditangani oleh karyawan Djajanti Group sebanyak lima orang dan dilengkapi dengan masker dan sarung tangan, khusus untuk membongkar atau mengurai pestisida ke dalam lubang. Mula-mula ke dalam lubang dimasukkan tanah setinggi 25 cm. Kemudian di atasnya ditimbun dengan kapur setinggi 20 cm. Baru pestisida PCP (atau derivatnya, seperti SPC dan BHC) setinggi 40 cm. Kemudian ditimbun lagi dengan pupuk urea, pupuk kandang, kapur, dan terakhir tanah. Dengan dilapis kapur, pupuk urea, dan pupuk kandang, maka PCP diharapkan akan terurai sehingga racunnya bisa berkurang dengan sendirinya. Menurut Soetrisno Tardjo, resep menguburkan PCP ini adalah atas petunjuk Departemen Kehutanan. Tidak jelas apakah ini pernah dilakukan juga di negeri lain. Tapi setahu dia, di Indonesia, ini yang pertama kali. Barangkali karena baru sekali ini dilakukan, maka penguburan bahan beracun ini makan waktu lama. Pada kenyataannya, setiap lubang memerlukan waktu minimal empat jam, padahal targetnya adalah 18 lubang sehari. Jadwal meleset lagi. Sementara itu, 30 dari 54 lubang yang sudah digali disediakan untuk pemendaman PCP tadi, dan sisanya untuk pemendaman drum dan bungkus bekas, yang sebelumnya diratakan dulu dengan buldozer. Biaya yang dianggarkan keseluruhannya berjumlah Rp 13 juta. Akan amankah PCP itu di liang kuburnya? Belum jelas benar. Tapi yang pasti, masyarakat Satui, yang terdiri dari 10 desa dengan penduduk sekitar 13.000 jiwa itu, memang tidak diberi tahu tentang barang yang dikuburkan itu. Penduduk yang tinggal di tempat persinggahan ke Pagatan dan ke Kotabaru, yang kebanyakan bekerja sebagai buruh itu, hanya tahu bahwa yang ditimbun adalah pupuk. Namun, camat Satui, Fathurahman, B.A., tidak khawatir. Katanya, tak ada masalah dengan lingkungan tempat kubur pestisida itu. Selain hutan itu sudah tak produktif lagi, tempat itu merupakan daerah hulu yang oleh perusahaan Djajanti, pemilik HPH-nya dilarang dimasuki orang. Toeti Kakiallatu Laporan M. Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini