Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah Rancangan Undang-Undang Kebahasaan tengah digodok. Sebagian masyarakat terkejut. Sebagian lagi bertanya, apakah ada musuh bahasa yang tengah membidik ketenteraman kehidupan.
Bahasa menunjukkan peradaban. Dalam kata ”peradaban” sudah tercakup makna yang begitu luas, yang menunjukkan bahwa dengan sendirinya bahasa sudah memiliki peraturan, hukum, dan kaidahnya sendiri. Bahasa Indonesia lahir dan dikukuhkan oleh para pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai bahasa yang ”satu”; sebagai petunjuk bahwa kita bangsa yang merdeka. Sesudah kita merdeka, bahasa Indonesia terus-menerus mengatur dirinya—bersama para penggunanya, warga Indonesia—dan ditetapkan sebagai bahasa yang resmi untuk bahasa pengantar dalam pemerintahan, pendidikan, dan alat komunikasi sehari-hari, tertulis maupun lisan.
kita menjadi satu dari sedikit bangsa yang pernah dijajah tapi tak menggunakan bahasa penjajah sebagai bahasa resmi. Negara di Afrika masih banyak yang menggunakan bahasa Inggris dan Prancis sebagai bahasa pengantar dalam pemerintahan, pendidikan, dan media; negara Amerika Latin bahkan menggunakan bahasa Spanyol (kecuali Brasil yang menggunakan bahasa Portugis) sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional. Indonesia menjadi bangsa yang memiliki bahasa yang begitu mandiri, menjadi alat komunikasi yang lancar di dalam negerinya sendiri tanpa ditekan oleh ”superioritas” bahasa lain.
Dalam hal ini, Indonesia sudah seharusnya merasa cukup nyaman dengan posisi ini. Tentu saja, sebagai bangsa yang ”baru lahir”, kita masih perlu bergulat, ikut memperkaya dan membuat serangkaian kesepakatan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang masih berkembang ini. Tetapi upaya pergulatan ini tak serta-merta berarti dibutuhkan sebuah pagar bernama undang-undang yang mengatur kehidupan berbahasa seperti seperangkat tentara yang tengah menghadapi musuh.
Draf rancangan undang-undang yang tengah beredar di masyarakat kini tak berhasil meyakinkan kita bahwa undang-undang ini perlu lahir. Bahkan ada pasal-pasal yang membuat kita seperti terlontar ke periode Orde Baru, tatkala segala sesuatu—bahkan yang berbau kreativitas—membutuhkan izin berbagai departemen yang pada gilirannya dengan mudah melahirkan birokrasi ruwet dan korupsi.
Tengoklah pasal 16 RUU Kebahasaan yang, antara lain, mengatur ”media massa, baik cetak maupun elektronik... wajib menggunakan bahasa Indonesia”, dan ditambahkan pula bahwa media massa yang ingin menggunakan bahasa asing harus mendapat izin menteri. Implikasinya, jika ada media yang ingin menggunakan bahasa Inggris, misalnya, atau bahasa Cina atau Jawa, harus mendapat izin menteri.
Contoh butir lain menyebut bahwa film, sinema elektronik, dan produk multimedia lain yang menggunakan bahasa asing harus dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. Jika melanggar? Ada bab yang mengatur lembaga pemerintah yang ditunjuk mengawasi penggunaan bahasa, serta adanya sanksi administratif terhadap mereka yang melanggar.
Draf RUU ini menunjukkan bahwa seolah-olah bangsa ini tengah dijajah bangsa asing, sehingga diperlukan undang-undang untuk sebuah pertahanan agar bahasa Indonesia tak mati. Harus diingat, posisi bahasa Indonesia sudah sangat nyaman dan kuat berakar di negeri ini dibanding bahasa nasional di negeri lain yang pernah mengalami penjajahan.
Majalah ini, yang sangat memperhatikan kehidupan bahasa Indonesia, lebih percaya bahwa masyarakat ini akan jauh lebih efektif dalam memelihara dan memperkaya bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mandiri, efektif, komunikatif, sekaligus menjadi identitas. Kita memang membutuhkan peraturan atau kaidah dalam penggunaan bahasa yang disepakati oleh kaum pendidik, lembaga bahasa, kalangan media, dan masyarakat. Tetapi kita tak perlu undang-undang untuk memelihara bahasa yang kita cintai ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo