Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita memilukan ini lagi-lagi harus kita dengar. Seorang remaja yang baru lulus sekolah kejuruan tewas setelah dijemput polisi di rumahnya. Tubuhnya ringsek dan berlumuran darah. Ia dituduh merampok seorang pengusaha. Empat kawannya yang dianggap satu komplotan babak-belur di kantor polisi. Gigi rontok, wajah lebam, dan kuku jari mereka tercabut. Seram.
Peristiwanya terjadi pada Januari silam. Keluarga mereka yang tinggal di kawasan kumuh Kapuk, Jakarta Barat, mulanya bungkam. Ketakutan. Mereka cuma orang kecil. Sebagian besar bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan minim. Baru sekarang, lebih dari sebulan kemudian, mereka berani buka suara setelah mendapat pendampingan sebuah lembaga bantuan hukum.
Anak-anak itu, menurut mereka, cuma remaja kampung biasa. Sehari-hari membantu pekerjaan orang tua di rumah, bermain bola atau mengaji di masjid. Kegiatan itu pula yang menjadi alibi para remaja itu dari tuduhan aparat. Remaja yang tewas bahkan mengantongi surat tanda kelakuan baik dari kantor polisi setempat.
Sebaliknya polisi berkeras mereka merupakan kawanan perampok nasabah bank yang berbahaya. Dasarnya? Menurut polisi, pengakuan para tersangka itu sendiri. Di sinilah pangkal masalahnya. Sudah terlalu sering kita mendengar rentannya penggunaan metode ini dalam pengungkapan kejahatan.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penangkapan Budi Harjono di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Dalam kondisi babak-belur akibat dianiaya polisi, Budi terpaksa mengaku sebagai pembunuh ayahnya. Padahal ibunya sendiri yang ikut menjadi korban sebetulnya sudah bersaksi tentang pelaku perampokan yang menyerang mereka. Dan pembunuh sesungguhnya itu akhirnya mengaku.
Ada pula cerita konyol dalam kasus pemalsuan uang di Jakarta Barat. Salah seorang pelakunya mengaku bernama Ade Chandra, bekas pemain bulu tangkis yang pernah mengharumkan nama Indonesia di arena All England dan Piala Thomas. Tanpa pengecekan yang cukup, polisi serta-merta mengumumkan identitas tersangka ke media massa. Belakangan Ade Chandra yang sesungguhnya muncul membantah.
Tapi kasus lain yang serupa masih terus terjadi. Di sejumlah kantor polisi kita masih sering mendengar tahanan ”dibon” dan diinterogasi dengan pukulan dan berbagai jenis penganiayaan yang bisa membuat bulu roma berdiri. Tujuannya tak lain menggali pengakuan tersangka.
Terhadap mereka yang benar-benar pembunuh pemerkosa, atau perampok pun, perlakuan seperti itu tak boleh terjadi. Bagaimana bila yang dibon adalah orang yang salah tangkap? Bukan cuma nama tercemar, mereka juga dapat mengalami luka fisik dan mental yang butuh waktu lama untuk sembuh.
Menyimak kasus-kasus tersebut, majalah ini berpendapat, sudah saatnya pimpinan polisi mengevaluasi metode yang biasa digunakan aparatnya untuk mengungkap kejahatan. Memang masih jauh kalau mengharap polisi kita mengungkap kasus dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern seperti dalam serial televisi CSI: Crime Science Investigation. Namun setidaknya, selain mengandalkan keterangan tersangka, masih ada alat bukti lain yang bisa digunakan, seperti petunjuk, surat, dan lain-lain.
Alangkah baik bila polisi lebih menggunakan akal ketimbang okol dalam mengungkap kejahatan. Untuk itu, tak bisa tidak, profesionalisme dalam penyelidikan dan penyidikan harus ditingkatkan. Seiring dengan itu, pengusutan dan penindakan terhadap aparat kepolisian yang bersalah—apalagi sampai menyebabkan hilangnya nyawa—harus ditegakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo